Selama melakukan overland di tanah Sumba, ada 1 keinginan saya yang berbuntut pada rasa rindu yang teramat sangat. Saya rindu untuk melihat hamparan padang rumput luas yang ada di sebuah perbukitan. Ya, Bukit Wairinding! Bayangan perbukitan luas yang tertutup rumput berwarna coklat kering bermain di pikiran saya. Dan di sore itu, ketika akhirnya saya menginjakkan kaki di sana, yang saya rasakan adalah seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang. Rasa di dada membuncah, mata seolah-olah tak mau berkedip, perasaan senang, rindu, bahagia, campur aduk menjadi satu.
Sore itu, Bukit Wairinding terlihat begitu eksotis, cantik!
Saya tiba di kaki Bukit Wairinding saat matahari mulai condong ke ufuk barat. Sinar keemasannya masih bersinar terang, menyirami seluruh permukaan bukit. Rumput yang mengering terlihat bagaikan permadani coklat gradasi, berlekuk-lekuk mengikuti tinggi rendahnya permukaan tanah. Tanah berbatu sedikit berdebu yang menyebabkan butiran halus terlihat mengepul setiap kaki menjejak ke tanah.
Menapaki punggung bukit, mata saya terus berkeliling. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah perbukitan dengan hamparan permadani bergradasi coklat. Luas sekali. Beberapa tumbuhan hijau kekuningan masih terlihat di beberapa area perbukitan. Sebatang pohon terlihat meranggas, menggugurkan daun-daunnya untuk bertahan hidup di musim kemarau ini. Kaki saya terus bergerak menuju sisi utara, menuju sebuah area yang ditumbuhi sebatang pohon yang telah kering. Area yang saya datangi sedikit berpasir, putih, namun tidak terlalu halus. Dari sini akan terlihat jajaran perbukitan Wairinding yang sangat luas.
Bukit Wairinding memiliki vegetasi padang rumput yang luas dan dikenal “bermuka dua”. Mengapa dikatakan demikian? Karena bukit ini memiliki 2 tampilan yang berbeda. Di musim penghujan bukit ini akan tampil dengan hijaunya rerumputan yang terhampar menutupinya, bak bukit-bukit indah seperti di dalam film Lord of the Ring. Sedangkan di musim kemarau, bukit ini akan tampil dengan rerumputan yang mengering bak savana di tanah Afrika.
Bukit yang terletak di desa Pambota Jara, kecamatan Pandawai ini sungguh indah. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari kota Waingapu, hanya sekitar 25 km, membuat bukit ini cukup ramai dikunjungi oleh para pejalan. Apabila kita memulai perjalanan dari kota Waingapu, maka kita harus mengambil jalan lintas Sumba, Waingapu – Waikabubak yang dikenal dengan nama “Letter S” karena jalannya yang berkelok-kelok. Seperti sebagian besar jalanan di Nusa Tenggara Timur, jalanan ini sangat mulus. Aspal hitam terlihat membelah perbukitan dengan beberapa area pemukiman penduduk di kanan kiri jalan. Untuk mencapai Bukit Wairinding, dari jalan lintas Sumba tadi kita perlu berkendara kurang lebih 30 – 45 menit hingga menemukan sebuah warung kecil yang berada di sebelah kanan jalan. Parkirlah kendaraan di area kosong di sekitar warung tersebut. Kemudian silakan berjalan kaki sekitar 500 meter ke arah bukit yang terletak tepat di belakang warung. Dan…. kita telah sampai di Bukit Wairinding!
Sore menjelang senja itu, saya dan teman-teman mengisi waktu di atas Bukit Wairinding sembari menunggu moment matahari terbenam dengan bersenda gurau. Bercerita tentang banyak hal. Beberapa anak kecil dari desa setempat terlihat mendekati kami dan akhirnya ikut bercerita tentang desa mereka. Saya mencoba mengabadikan keindahan Bukit Wairinding dari balik lensa kamera, namun rasanya selalu kurang. Semua sisi terlihat sangat indah. Dan ketika matahari semakin rendah mendekati garis cakrawala, suasana syahdu sangat terasa. Cahaya keemasan jatuh di semua sisi bukit, permukaan yang berlekuk-lekuk pun terlihat bagaikan karpet emas. Siluet teman-teman yang berada di ujung barat pun terlihat begitu cantik.