Sebagaimana dulu saya bukan pencinta kopi, aslinya saya juga bukan pencinta teh. Yah, sekadar penikmat mungkin iya, sekadar mencicipi saat ingin merasakan minuman manis, karena sejatinya saya lebih suka menenggak air biasa. Apalagi mencoba black tea? Yang terbayang adalah teh yang pekat, dengan after taste kelat, dan menempel di langit-langit mulut.
But someday, kesan itu langsung hilang ketika saya berkesempatan untuk mencoba secangkir kecil black tea asal Tiongkok yang rasanya sangat light, dengan aroma tanah (aroma favorit saya). Shuo Pu’Er, ternyata itu nama teh yang membuat saya berhasil berkali-kali mengisi ulang gelas (atau lebih tepatnya mangkok) kecil yang disediakan untuk menikmati teh tersebut. Saya menikmati Shou Pu’Er di Pantjoran Tea House, sebuah bangunan tua di kawasan Glodok Pancoran. Bangunan 2 lantai berwarna putih yang terletak di hook, persis di depan gerbang kawasan Glodok Pancoran, dengan bentuknya yang unik, bersegi-segi, begitu juga dengan atapnya, mengikuti banyaknya segi/sisi dari bangunan tersebut. Sebuah meja kayu terpasang di depannya, di atasnya terdapat beberapa teko batik tua yang tertata rapi. Sebaris tulisan “Tea House . Shop . Dining” berwarna merah terpampang di bagian depan bangunan.
Memasuki bagian dalam bangunan, didominasi oleh warna putih, saya melihat beberapa set meja dan kursi kayu coklat mengkilap, keramik bermotif jadul, lampion yang digantung di beberapa titik ruangan, serta bohlam bulat transparan yang menjulur dari plafon. Beberapa lukisan Jakarta tempo dulu terlihat digantung di dinding. Menaiki lantai 2, saya melihat dekorasi serupa di lantai dasar. Saya pun memilih meja di dekat jendela.
Kembali ke Shou Pu’Er, rasa penasaran saya akhirnya saya berselancar di internet untuk mencari informasinya. Dan dari informasi yang saya dapatkan, ternyata Shuo Pu’Er aslinya adalah teh fermentasi yang dibuat di Propinsi Yunnan yang terletak di Cina Barat Daya. Untuk proses fermentasinya, pertama daun teh dioksidasi (terkena udara), kemudian ditumpuk di lantai gudang setebal 2 kaki (sekitar 60 cm). Kelembaban dan suhu di dalam gudang juga harus dikontrol dengan ketat. Kemudian daun disemprot dengan air dan biakan bakteri dari tumpukan Pu’Er sebelumnya, dan ditutup dengan selimut termal dan dibalik secara berkala selama 45-60 hari berikutnya.
Proses fermentasi untuk Shou Pu’Er merupakan proses fermentasi yang dipercepat (wo dui), dengan proses fermentasi tumpukan basah, dengan suhu tumpukan yang bisa mencapai 140 F karena adanya bakteri yang hidup di sana. Di akhir proses fermentasi, daun teh bisa dibiarkan sebagai daun lepas yang sudah matang, atau dipres dan dijadikan kue teh. Yang unik dari Shou Pu’Er, tidak ada panas eksternal yang digunakan pada proses fermentasinya, namun hanya mengandalkan panas dari tumpukan daun itu sendiri seperti pada proses pembuatan kompos.
Kalau ditanya, apakah Shou Pu’Er yang saya cicipi umurnya sudah tua? Dari menu dan penjelasan bapak yang menyiapkan Shou Pu’Er untuk saya, teh yang saya cicipi itu merupakan produksi dari tahun 1995, jadi umurnya sudah 27 tahun!
Bapak yang menyiapkan teh juga menjelaskan bahwa Shuo Pu’Er harus diseduh dengan air mendidih. Dibutuhkan 2 kali pencucian teh, jadi setelah kepingan teh direndam air panas, air itu harus 2 kali diganti sebelum teh siap diminum. Pada rendaman ke-3, biarkan Shou Pu’Er terendam air panas selama 5-10 menit, kemudian disaring, baru disajikan. Warnanya coklat jingga, tidak terlalu pekat/gelap.
Cara penyajiannya pun cukup unik. Pertama, teh dituangkan ke gelas kecil yang tinggi, kemudian gelas (atau lebih cocok disebut mangkuk kecil) ditutupkan ke atasnya, kemudian dibalik. Lalu, gelas yang kecil tadi diangkat sehingga air teh berpindah tempat ke mangkuk kecil, nah… ini yang paling menarik, dari gelas kecil tadi kita bisa menikmati wangi dari Shou Pu’Er. Kebetulan Shou Pu’Er yang saya cicipi beraroma tanah, dan saat saya dekatkan gelas kecil tersebut ke hidung, samar tercium wangi aroma tanah, segar.
Kemudian saya mengangkat mangkuk kecil yang telah berisi teh, menyesapnya sedikit sambil menikmati uap tipis yang ada di permukaannya. Enak! Rasanya light, tidak “berat” sebagaimana black tea pada umumnya, dan tidak sedikit pun saya merasakan rasa “pahit”, padahal teh diseduh tanpa gula. Dan yang lebih menyenangkan, after taste dari teh ini tidak meninggalkan rasa kelat di lidah dan langit-langit. Enak dan harum dari Shuo Pu’Er benar-benar membuat saya sumringah, dan jatuh cinta. Next, nyoba teh apalagi ya?? 😃😃