Aku tetap meyakini bentuk-bentuk artistik yang kuciptakan
memiliki makna estetika sangat inherent dengan impuls kejiwaan dan suara hati.
Warisan tradisi serta religi yang cukup kental dan selama ini menjadi dasar penciptaan,
dari mana aku mulai melukis, mengukuhkan kehadiran bentuk dan totalitas lukisanku.
Katakanlah ke semua hubungan sebab akibat dan proses kreatif demikian merupakan metamorphosis
dari nilai-nilai dan kepekaanku atas tinggalan archaic, serta himpunan perasaan menghadapi
kehidupan masa kini yang terus beranjak.
Baluran warna-warna purba, garis-garis titik yang jalin-menjalin merangkum bentuk
dan perwujudan, kesemuanya merupakan penanda atas segenap insting kreatifitas
yang selama ini terus-menerus aku hayati secara integrity.
Seutuhnya, semua yang aku hasilkan ingin aku kembalikan menjadi bagian dari Khaliq
dan kupersembahkan untuk umat manusia yang mensyukuri peradaban.
Kalimat-kalimat di atas merupakan “Pernyataan Seni” pak Sri Warso Wahono di dalam katalog “Kidung Rampogan” yang merupakan pameran lukisan tunggalnya yang diadakan di bulan Agustus lalu. And lucky me, saya diundang untuk menghadiri acara pembukaannya dan menikmati aneka goresan warna yang bercerita.
Malam itu, saya tiba di Bentara Budaya Jakarta tepat sebelum acara dimulai. Bangku-bangku kayu sudah tersusun rapi di halaman BBJ. Sebuah panggung sederhana di depan sebuah bangunan joglo, terlihat sangat nJawani, terang oleh cahaya lampu. Tulisan besar “Kidung Rampogan” terlihat jelas dengan huruf berwarna merah. Background putih dengan lukisan prajurit dan wajah-wajah yang unknown terlihat begitu sarat dengan makna.
Acara pembukaan pameran lukisan malam itu sangat kental dengan nuansa Jawa dan Bali. Penampilan dari sanggar tari Saraswati yang dipimpin oleh pak I. G. Kompyang Raka membuat saya terkesiap. Sekitar 9 orang penari dengan baju khas Bali terlihat gagah di atas panggung. Membawa tombak, tarian yang disuguhkan bak bercerita tentang gagahnya para ksatria. Tarian tradisional itu membuat mata saya seperti tak berkedip, takut kehilangan moment-moment sakral dari setiap gerakan para penari. Bahkan suara pesinden yang melantunkan syair-syair berbahasa Bali pun berhasil membuat saya terus fokus ke panggung.
Ketika tiba saatnya untuk melihat lukisan-lukisan yang dipamerkan, saya yang awam tentang lukisan ini merasa seolah-olah lukisan-lukisan yang terpasang di dinding itu bercerita langsung tentang apa yang digoreskan pak Sri di atas kanvas. Lukisan yang paling tua, merupakan karya pak Sri di tahun 1998 yang berjudul “Harga Diri”. Berdasarkan cerita langsung dari pak Sri mengenai lukisan ini, saya leluasa mendengarkan penuturan pak Sri mengenai lukisan-lukisannya pada kunjungan ke-2, karena pada kunjungan pertama saat pembukaan, saya hanya bisa melihat lukisan-lukisan itu disebabkan ramainya pengunjung, “Harga Diri” merupakan rekaman sejarah kelam reformasi yang pernah terjadi di Indonesia. Ketika terjadi intimidasi kepada suatu golongan tertentu, dan berbagai peristiwa buruk yang berlaku kepada mereka.
Berkeliling ruang pamer di Bentara Budaya Jakarta, mata saya dimanjakan oleh goresan penuh warna dan sarat makna dari lukisan pak Sri. Beberapa lukisan berhasil menawan hati saya, membuat saya betah berlama-lama berdiri melihat coretan-coretan warna yang terjalin menjadi sebuah cerita. Otak saya terus bekerja, berusaha mengingat semua cerita pak Sri mengenai makna dari semua lukisannya. Rasanya, keyboard di otak saya terus bergerak, merangkai semua cerita yang saya dengar.
Karena judul dari pameran lukisan ini adalah “Kidung Rampogan”, saya pun berusaha mencari literatur tentang apa itu Rampogan? Sungguh, kata Rampogan masih sangat asing di telinga saya. Dan akhirnya, saya mendapatkan beberapa mengenai Rampogan dari beberapa sumber, salah satunya adalah dari pak Sri sendiri. “Rampogan mempunyai makna filosofis, historis, dan secara fenomenologis mewakili zaman”, demikian tutur beliau. Aneka lukisan Rampogan yang dipamerkan merupakan rekaman dari kejadian-kejadian yang telah lewat di negeri ini. Menyaksikan lukisan pak Sri, membuat saya seolah melihat kembali film rekaman masa lalu, korupsi, watak serakah, watak mulia, perilaku tokoh-tokoh, dan berbagai drama kehidupan di dalam masyarakat.
Salah satu literatur mengatakan bahwa “Rampogan” merupakan nama dari satu wayang yang aneh, yang konon diciptakan oleh Kiai Sunan Bonang, yang menciptakan wayang berbentuk kuda, gajah, dan lainnya. Rampogan merupakan sekumpulan prajurit bersenjata, ditambah dengan kuda dan gajah. Berbicara mengenai Rampogan di dalam dunia pewayangan, Rampogan biasanya muncul ketika negara sedang genting dan bersiap menghadapi perang.
Terlepas dari makna Rampogan yang cukup rumit menurut saya, lukisan-lukisan Rampogan yang digoreskan oleh pak Sri berhasil membuat saya jatuh cinta pada cerita yang terkandung di dalamnya. Lukisan-lukisan itu membuat saya kembali mengingat berbagai peristiwa yang pernah terjadi di negeri tercinta ini. Terima kasih pak Sri, lukisan-lukisanmu membuat saya semakin memahami, negeri ini pernah tercarut-marut di masa lalu. Namun negeri ini juga memiliki masa-masa indah setelah berhasil melaluinya. Sekali lagi, terima kasih banyak pak, terima kasih juga untuk kesabaranmu yang menceritakan semua makna yang ada di balik setiap lukisan-lukisan itu.