Perjalanan panjang saya mengunjungi tanah Sumba, membawa saya untuk mengunjungi beberapa desa adat yang ada di sana. Salah satunya adalah desa adat Ratenggaro. Sebuah desa adat yang berada di tepi laut.
Desa adat Ratenggaro, merupakan sebuah desa unik yang terletak di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya yang berjarak kurang lebih 40 km dari kota Tambolaka. Desa ini akan membawa kita seolah memasuki mesin waktu dan kembali ke jaman Megalithikum sekitar 4500 tahun yang lalu. Desa ini bisa ditempuh melalui beberapa jalur sebagai berikut:
1. Via Jalan Lukas Dairo Bili, berjarak sekitar 40.7 km dan dapat ditempuh dalam 1 jam 2 menit dari kota Tambolaka. Ini merupakan jalur terpendek untuk mencapai Desa Ratenggaro;
2. Via Jalan Raja Yohanes Ngongo Bani, menempuh jarak sekitar 47.5 km dan dapat ditempuh dalam waktu 1 jam 35 menit;
3. Via Jalan Lukas Dairo Bili dan Jalan Raja Yohanes Ngongo Bani, menempuh jarak sekitar 54.4 km dan dapat ditempuh dalam 1 jam 36 menit.
Desa adat Ratenggaro ini sangat unik karena suasananya yang seolah membawa kita kembali ke masa lalu dengan banyaknya kuburan batu yang tersebar di sekitar perkampungan. Ratenggaro sendiri memiliki arti, “Rate” yang berarti kuburan dan “Garo” yang berarti orang-orang Garo. Konon, dahulu kala ketika masih sering terjadi peperangan antar suku, suku dari mereka yang sekarang menjadi penghuni desa ini berhasil merebut wilayah desa orang-orang Garo dari pemilik aslinya. Pada masa itu, suku yang kalah perang akan dibunuh dan dikubur di tempat itu juga. Di desa Ratenggaro terdapat 304 kuburan batu, di mana 3 di antaranya berbentuk unik dan terletak di pinggir laut.
Selain banyaknya kuburan batu yang terdapat di desa ini, keunikan lainnya terletak pada bentuk rumah adatnya. Rumah adat di desa Ratenggaro dikenal dengan nama Uma Kelada, ciri khasnya adalah bagian atap yang menjulang tinggi hingga mencapai 15 meter. Atap ini menggunakan bahan dasar jerami dan tinggi rendahnya atap menunjukkan strata sosial dari sang pemilik rumah. Rumah adat di desa Ratenggaro berbentuk rumah panggung yang terdiri dari 4 tingkatan. Tingkat paling bawah dijadikan sebagai kandang hewan peliharaan, tingkat di atasnya merupakan tempat tinggal bagi pemilik rumah, tingkat selanjutnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen dan memasak. Di tingkatan ini, pemilik rumah biasanya menyimpan sebuah kotak sebagai tempat bagi benda-benda keramat, dan tingkat paling atas merupakan penyimpanan tanduk kerbau sebagai simbol kemuliaan.
Seperti kampung-kampung lain yang ada di Sumba, desa Ratenggaro juga masih memegang teguh tradisi Marapu, yaitu tradisi memuja nenek moyang dan leluhur. Contohnya adalah pada saat pelaksanaan upacara kematian akan dilakukan penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda. Menurut kepercayaan mereka, roh nenek moyang juga ikut hadir pada saat upacara penguburan, sehingga hewan yang disembelih tersebut merupakan persembahan bagi roh nenek moyang.
Lokasi desa adat Ratenggaro yang berada di tepi pantai, juga memberikan keindahan tersendiri bagi desa tersebut. Hanya dengan berjalan sedikit saja, maka kita akan tiba di hamparan pasir putih yang membatasi daratan dengan luasnya laut di depannya. Sore itu ketika saya tiba di sana, terlihat bocah-bocah kecil berlarian ke sana ke mari. Rambu – sebutan bagi wanita di Sumba, terlihat sedang duduk-duduk di serambi rumah, beberapa dari mereka terlihat sedang menjemur kain tenun khas Sumba di samping rumahnya. Seorang Umbu – sebutan bagi lelaki Sumba terlihat baru saja menyembelih ternaknya. Saya sempat berkeliling sambil mendengarkan cerita dari bapak ketua adat mengenai tradisi dan kehidupan masyarakat di desa Ratenggaro. Saat mendengarkan cerita dari bapak ketua adat, sekelebat mata saya melihat seorang pemuda sedang memacu kudanya di pantai. Dalam suasana senja yang semakin berkilau, moment menunggang kuda itu terlihat begitu epik.
Sebagaimana daerah-daerah lain yang ada di tanah Sumba ini, di desa Ratenggaro, masyarakatnya juga terbiasa untuk menyirih. Lelaki, perempuan, tua dan muda, hampir semua dari mereka selalu membawa sebuah plastik yang berisikan perlengkapan menyirih, seperti potongan batang sirih, tembakau, gambir, dan kapur. Saat berada di desa Ratenggaro, teman-teman saya melakukan berbagai aktivitas yang berbeda-beda. Sebagian berkeliling kampung sambil memotret dan mendengarkan cerita dari bapak ketua adat, termasuk saya. Beberapa teman berjalan ke arah pantai dan bermain di sana, sementara sebagian yang lain asyik berfoto bersama adik-adik kecil dan beberapa orang rambu di sekitar kampung.
Menikmati senja di perkampungan yang jauh dari bisingnya suara kendaraan sangat nikmat. Semilir angin bertiup mengantarkan matahari yang akan pulang ke peraduannya. Laut beriak kecil ikut mengantarkan terang yang akan berganti dengan gelap. Di kejauhan terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu oleh beberapa orang pemuda. Sementara, di ujung barat matahari terlihat semakin bulat dan memerah, semakin mendekati batas cakrawala. Beberapa burung terlihat berkelebat di langit senja, melintasi bayangan matahari. Dan ketika hari beranjak semakin gelap, saya pun berpamitan kepada seisi desa. Terima kasih untuk semua cerita indah di sore itu.