Perlu 2x datang ke kawasan Ninnenzaka hingga saya menemukan kuil cantik ini. Saat pertama ke Ninnenzaka, saya penasaran dengan Starbucks pertama yang berdiri di sana, yang masih menggunakan bangunan tradisional, bahkan area dine-in-nya pun ada yang lesehan. Kali ke-2 ke Ninnenzaka, saya memang berniat mencari kuil cantik itu.
Hari sudah mulai senja saat saya tiba di Ninnenzaka. Dan perlu waktu bagi saya untuk menemukan lokasi kuil itu. Berbekal foto dari hasil googling, saya mencoba menemukan lokasi yang sama persis dari foto yang saya dapat. Dan ternyata, saat saya tiba di sana, lokasi tersebut sudah penuh dengan pengunjung yang juga tertarik dengan spot foto itu.
Selain memang mencari kuil, sejak pertama kali menginjakkan kaki di area Ninnenzaka dan Sannenzaka, saya sudah jatuh cinta. Bangunan-bangunannya yang masih tradisional, jalan setapak terbuat dari susunan batu, taman-taman kecil di depan rumah, suasananya yang tenang, sungguh membuat saya betah, menyenangkan.
Salah satu yang bikin betah berkeliling di Ninnenzaka dan Sannenzaka adalah deretan bangunan kayu yang berdiri rapi di kanan kiri jalan setapaknya. Mulai dari toko souvenir, restoran, café, tempat minum teh, penjual es krim dan cemilan khas Jepang, hingga bangunan tempat tinggal. Sepertinya memang benar, kalau ingin melihat Jepang yang sebenarnya, datanglah ke Kyoto.
Oh iya, Ninnenzaka dan Sannenzaka berada di distrik Higashiyama, di bagian timur Kyoto. Kebetulan saat di Kyoto saya menginap di sekitar Nijo Castle, dari tempat menginap saya hanya perlu jalan sedikit sekitar 160 meter menuju halte bus Horikawa Marutamachi, kemudian naik bus nomor 202 ke arah Higashiyama Hasui, dari situ berjalan seekitar 400 meter, ongkos busnya ¥230 (sekitar 24.000).
Karena Ninnenzaka dan Sannenzaka bisa dikatakan pusatnya destinasi wisata yang “Traditional Japan vibe”, banyak pengunjung yang datang ke sana lengkap dengan kimono dan yukata serta sandal tradisionalnya. Deretan bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu memperkuat nuansa tradisional itu.
Bagi pengunjung yang ingin mencari suvenir, toko-toko suvenir di sepanjang area ini menawarkan banyak sekali pilihan. Kipas, sumpit, dompet, matcha bubuk, coaster, mangkok matcha, gelas, keramik, dan lainnya banyak dijual di sana. Untuk yang mencari cemilan, di sana juga banyak took-toko yang menjual berbagai snack khas Jepang. Mulai dari biskuit, roti, coklat hingga es krim. Oh iya, karena terkenal dengan matcha-nya, jangan lupa untuk mencoba es krim matcha yang banyak dijual di sana ya. Saya berkali-kali jajan es krim matcha selama berkeliling di sana, harganya antara ¥350 – ¥500. Rasanya, enak! Apalagi yang ditaburi bubuk matcha di atasnya, hmm…… yummy.
Senja itu, sembari menunggu sunset (karena niatnya saya ingin memotret Yasaka pagoda – 八坂の塔 dengan background langit yang mulai gelap) saya pun mencoba untuk melihat-lihat beberapa toko yang menjual souvenir, dan berakhir dengan sekantong dompet, sumpit dan matcha bubuk.
Sebelum senja semakin gelap, saya menuju lokasi Yasaka pagoda.
Suasana cukup ramai di jalanan setapak yang menanjak spot favorit pengunjung untuk mengambil foto. Saya memilih untuk menunggu langit sedikit gelap agar siluet Yasaka pagoda lebih menarik. Duduk di undakan batu di depan bangunan kayu yang tampak seperti toko yang sudah menutup pintunya, saya menikmati senja sambal memperhatikan pengunjung yang lalu lalang dan berfoto. Dan ketika langit sudah berwarna biru tua, saya mulai mencoba mengambil beberapa foto. Karena pengunjung masih terlalu ramai, saya akhirnya melipir lagi dan memutuskan akan memotretnya saat langit benar-benar gelap. Dan benar saja, saat pengunjung mulai berkurang, langit mulai membiru gelap, siluet Yasaka Pagoda terlihat semakin cantik. Diterangi oleh cahaya lampu kekuningan dan diapit oleh bangunan-bangunan kayu bernuansa tradisional, tampilan Yasaka Pagoda benar-benar jadi mood booster.
Setelah “libur” beberapa saat untuk memotret siluet, akhirnya kerinduan saya terbayar.
Saya meninggalkan Ninnenzaka – Sannenzaka saat jam mulai menunjukkan pukul 8 malam. Suasana sudah sangat lengang, jalanan setapak kosong, hanya deretan bangunan kayu yang diterangi dengan lampu kekuningan yang tertinggal. Malam itu Kyoto cukup sejuk.
Saya tidak tahu sebelumnya, ternyata di area Ninnenzaka ada sebuah rumah yang terkenal, yang merupakan bekas kediaman Yumeji Takehisa (1884-1934) yang merupakan seorang pelukis dan penyair terkenal di Jepang. Wah, kalau sudah tahu, pasti saya akan mencari rumah itu.
Malam yang semakin gelap, memaksa saya untuk meninggalkan Kawasan Ninnenzaka dan Sannenzaka.
Note:
Menurut bukti arkeologi, Pagoda Yasaka berdiri pada abad ke-7, namun tanggal pendiriannya masih menjadi perdebatan. Apakah didirikan pada masa pemerintahan Pangeran Shotoku atau pada tahun ke-6 periode Tenmu (678 M). Perdebatan tersebut juga meliputi faktor sejarah karena Yasaka Pagoda berdiri di antara Kuil Shinto Gion dan kuil Buddha Kiyomizu-dera yang mengakibatkan pagoda tersebut dibakar pada bulan Mei 1170. Dan dibangun kembali pada tahun 1191 dengan bantuan dana dari bangsawan Kawachi Genji Minamoto no Yoritomo. Pada tahun 1240, pendeta kepala kuil Buddha di dekat Yasaka Pagoda, Kennin-ji, menghubungkan Yasaka Pagoda dengan Buddhisme Zen yang menjadi sebutan resmi Yasaka Pagoda hingga saat ini.