Saya sudah beberapa kali lewat di depan bangunan kuno itu, namun tidak pernah tahu, itu bangunan apa? Kegiatan dari Museum Project lah yang akhirnya membawa saya memasuki dan melihat isi dari bangunan tersebut. Bangunan yang berada di Jalan Kramat Raya No. 106 RT. 2 RW. 9, Kwitang, Jakarta Pusat itu ternyata adalah Museum Sumpah Pemuda! Acara yang bertajuk Museum Project Bersejarah dan Berbagi dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda yang ke-90.
Saya tiba di Museum Sumpah Pemuda sekitar 15 menit sebelum acara dimulai. Di halaman museum terlihat serombongan anak SD atau mungkin SMP dengan seragam marching band. Titik-titik keringat terlihat membasahi wajah mereka yang baru saja selesai melaksanakan upacara dan pertunjukan marching band. Halaman museum terlihat ramai. Di sudut belakang bangunan terlihat serombongan bapak ibu dengan pakaian safari yang berkumpul di depan sebuah meja panjang. Tepat di pinggir jalan raya, sederetan mobil mewah jadul terlihat berbaris. Rupanya ada beberapa komunitas yang pagi itu akan melaksanakan kegiatan di Museum Sumpah Pemuda ini.
Saya menghubungi mbak Agnes untuk memastikan bahwa saya tidak terlambat untuk mengikuti kegiatan dari Museum Project. Karena masih menunggu beberapa orang teman yang belum datang, acara yang awalnya akan dimulai pukul 09.00 wib akhirnya ditunda sekitar 15 menit. Ketika semua peserta sudah berkumpul, mulailah kami menjelajah Museum Sumpah Pemuda beserta isinya.
Tim Museum Project membuka acara dengan memperkenalkan diri, ada mbak Agnes, mas Farid, mbak Ayu (kalo ga salah dengar), dan mas Indra. Setelah itu gantian kami, peserta, yang memperkenalkan diri. Perjalanan kami di mulai dari ruang pertama yang ada di museum ini, sebuah ruangan yang dilengkapi dengan sebuah diorama, seperangkat meja dan kursi kayu dengan 3 orang tokoh pemuda yang tampak sedang berdiskusi sambil menghadap setumpuk buku-buku tebal. Di sisi kanan ruangan terbentang sejarah Kota Batavia di tahun 1920-an. Mas Farid, yang menjadi story teller pagi itu bercerita tentang bangunan-bangunan bersejarah di seputar Batavia dan apa fungsi bangunan-bangunan itu di masa sekarang. Sebuah gambar besar Museum Fatahillah dengan trem di depannya tampak sangat menarik. Ternyata dulu, di area Kota Tua Jakarta, ada jalur trem yang dipergunakan oleh VOC sebagai sarana transportasi. Hmm… apakah jalur trem tu masih ada sampai sekarang?


Kami berpindah ke ruangan lainnya. Sebuah agenda Susunan Acara Kongres terpampang besar di dinding. Itu adalah susunan acara kongres pemuda pernah diadakan tahun 1926. Di sisi lain dinding, terpampang sebuah prasasti “POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA”. Prasasti yang terbuat dari batu marmer itu terlihat megah. Prasasti yang berisi ikrar pemuda-pemuda Indonesia sesaat setelah pelaksanaan rapat di tanggal 27-28 Oktober 1928, yang akhirnya kita kenal sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Di ruangan selanjutnya, terlihat sebuah meja panjang bertaplak kain merah dengan 6 orang tokoh pemuda yang sedang memperhatikan sosok W. R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Di belakang sosok W. R. Supratman, terpampang lirik dan notasi lagu kebangsaan Indonesia Raya versi aslinya. Apabila kita amati, syair dari lagu Indonesia Raya yang terpampang di dinding berbeda dengan lagu Indonesia Raya yang selama ini kita dengar. Di museum ini juga saya bisa melihat biola milik W. R. Supratman yang digunakan untuk memainkan lagu Indonesia Raya pertama kalinya. Biola itu dibuat oleh Nicolaus Amateus Fecit, dengan kombinasi 3 jenis kayu, yaitu Cyprus, maple Italia dan eboni Afrika Selatan. Biola bersejarah ini diperoleh W. R. Supratman sebagai hadiah ulang tahunnya di tahun 1914 dari W. M. Van Eldick. Biola ini merupakan master piece yang ada di Museum Sumpah Pemuda.

Selain biola milik W. R. Supratman, di ruangan itu pula terdapat piringan hitam yang berisi lagu Indonesia Raya. Lagu Indonesia Raya pertama kali direkam di dalam piringan hitam oleh perusahaan rekaman milik Alm. Bapak Yo Kim Tjan, NV Populair. Namun, karena situasi di Indonesia saat itu sangat kacau, piringan hitam yang berisi lagu Indonesia Raya itu sempat hilang, beruntungnya, anak dari bapak Yo Kim Tjan, Almh. Nyonya Yo Hoey Gwat (ibu Kartika K), masih menyimpan sekeping piringan hitam yang berisi lagu Indonesia Raya versi keroncong. Karena suatu dan lain hal yang terjadi di masa lampau, piringan hitam yang dipajang di Museum Sumpah Pemuda ini terlihat pecah beberapa bagian. Namun, justru kesan sejarah yang ditimbulkan dari pecahan-pecahan itu terlihat semakin kental. Saat itu, memperdengarkan lagu Indonesia Raya sangatlah berbahaya, taruhannya nyawa. Karena kondisi Indonesia yang berada di bawah jajahan Belanda.

Berikut adalah Fragmen Penting yang tercecer dari sejarah lagu kebangsaan Indonesia Raya:
Pada tahun 1927, W. R. Supratman menghubungi perusahaan rekaman yang ada di Batavia: Odeon, Thio Tek Hong dan Yo Kim Tjan untuk merekam lagu Indonesia Raya dan hanya Yo Kim Tjan yang bersedia melakukannya karena yang lain takut ditangkap Belanda yang saat itu sudah mengendus gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh pemuda-pemudi Indonesia. Yo Kim Tjan adalah sahabat baik W. R. Supratman, yang juga pekerja paruh waktu sebagai pemain biola di Orkes Populair yang dipimpin Yo Kim Tjan.
Di samping itu, W. R. Supratman juga bekerja sebagai Wartawan Lepas Surat Kabar SINPO, koran yang diterbitkan oleh Masyarakat Tionghoa, yang juga adalah surat kabar pertama yang mempublikasikan teks lagu Indonesia Raya sesudah didengungkan oleh W. R. Supratman pada Hari Soempah Pemoeda tanggal 28 Oktober 1928.
Yo Kim Tjan menngusulkan agar rekaman lagu Indonesia Raya dibuat dalam dua versi, yaitu versi asli yang dinyanyikan langsung oleh W. R. Supratman sambil bermain biola dan yang versi kedua adalah yang berirama keroncong yang nyaris tidak banyak diketahui masyarakat. Versi keroncong ini dimaksudkan agar semua orang Indonesia sudah tahu irama lagu kebangsaan bila kelak dikumandangkan.
Kedua lagu tersebut direkam di rumah Yo Kim Tjan di daerah Jl. Gunung Sahari, Batavia dengan dibantu seorang teknisi berkebangsaan Jerman.
Master rekaman piringan hitam berkecepatan 78 RPM yang versi asli suara W. R. Supratman disimpan dengan hati-hati oleh Yo Kim Tjan dan hanya versi keroncong yang kemudian dikirimkan ke Inggris untuk diperbanyak.
Setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan oleh W. R. Supratman pada tanggal 28 Oktober 1928, pihak Belanda menjadi panik dan menyita semua piringan hitam versi keroncong, baik yang sudah sempat beredar maupun yang masih dalam perjalanan dari London ke Batavia. Pihak Belanda tidak mengira bila lagu yang dinyanyikan oleh W. R. Supratman sebetulnya sudah direkam setahun sebelumnya tanpa ada yang tahu!
Berdasarkan penuturan Yo Hoey Gwat (ibu Kartika K.), puteri sulung Yo Kim Tjan, yang menyimpannya dengan sangat hati-hati, sesuai amanah dari W. R. Supratman yang meminta Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan master lagunya agar bisa didengungkan pada saat Indonesia Merdeka. Master lagu ini luput dari pengetahuan pihak penjajah Belanda dan juga penjajah Jepang. Pada tahun 1942, keluarga Yo Kim Tjan membawa dan menyelamatkan master lagu tersebut dalam pengungsiannya ke Kerawang, Garut, dan lain-lain.
Pada tahun 1953, Yo Kim Tjan ingin memperbanyak lagu asli Indonesia Raya dan menghadap ke pihak Pemerintah yang saat itu diwakili oleh Maladi sebagai Ketua RRI yang berkuasa atas pengeluaran ijin rekaman, namun permohonan Yo Kim Tjan ditolak. Pada tahun 1957, master tersebut kemudian diminta dengan alasan ingin dikeluarkan hak ciptanya namun ternyata master lagu asli itu dinyatakan disita oleh negara.
Tragisnya master asli yang telah luput dari penyitaan oleh pihak penjajah, baik Belanda maupun Jepang ternyata hilang tanpa bekas di tangan anak bangsa sendiri!!!
Untungnya sekeping piringan hitam lagu Indonesia Raya versi Kkeroncong ini bisa diselamatkan oleh keluarga Yo Kim Tjan. (sumber interview dengan ibu Kartika K) dan rekaman versi keroncong bisa didengarkan di sini.
(Artikel ini disumbangkan oleh: Udaya Halim – Museum Benteng Heritage, Tangerang, 09 Juni 2015).
Mas Farid sempat memperdengarkan lagu Indonesia Raya versi biola asli yang dimainkan oleh W. R. Supratman. Dan seketika mata saya menghangat serta dada terasa sesak. Alunan nada dari biola terasa sangat indah walaupun tanpa syair.
Alunan lagu Indonesia Raya tadi sekaligus menutup acara kami di hari Minggu pagi itu. Walaupun setelahnya saya dan teman-teman masih berkeliling, membaca semua coretan yang ada di sana. terlihat beberapa pesan dari tokoh-tokoh pemuda pada saat itu, di antaranya Ki Hajar Dewantara dan Mohammad Yamin.

