Menyelam! Kata itu termasuk kata yang tidak pernah ada di dalam kamus jalan-jalan saya. Mengapa? Ya, bagaimana mau menyelam, berenang di laut tanpa pelampung saja aslinya saya ga berani, atau lebih tepatnya ga bisa. Mungkin saya termasuk orang yang penakut untuk mencoba berenang tanpa pelampung. Kejadian sempat tenggelam selama 3 menit lebih beberapa tahun yang lalu masih menyisakan kenangan yang ga indah di ingatan saya. Mengingat harus menelan air sungai beberapa liter, pandangan yang perlahan-lahan memudar, serta pendengaran yang semakin lama semakin samar, membuat sebuah benteng pertahanan tersendiri dalam diri saya untuk “takut berenang”. Namun sayangnya, hobi saya untuk berjalan-jalan mengelilingi Indonesia, yang notabene banyak perairannya malah membuat saya amat sangat mencintai laut. Ironis ya….
Walau sangat paham dengan kemampuan diri sendiri yang ga bisa berenang, tapi setiap ada kesempatan untuk nyemplung di laut, rasa-rasanya tidak pernah saya lewatkan. Mulai dari perairan di Kepulauan Seribu, Aceh, Lampung, Derawan, Banyuwangi, Kepulauan Komodo hingga ke Maluku Utara. Saya tidak tahu apa penyebabnya? Tapi setiap menyentuh air laut, ada “rasa” yang selalu membuat kangen. Hingga suatu ketika akhirnya saya memberanikan diri untuk belajar berenang tanpa pelampung di laut! Thank God, punya teman yang berhasil meracuni dengan sedikit memaksa saya untuk berani belajar berenang di laut lepas. Walhasil, sejak Januari 2018 kemarin saya mulai berani berenang di laut tanpa pelampung, yah… walaupun masih bersikeras sambil menenteng si lifevest untuk jaga-jaga kalau paniknya kumat 😀
Setelah bisa mengambang dan berenang di laut tanpa pelampung, kembali saya diracuni untuk mencoba menyelam! Trial scuba istilahnya. Hmmmmm…… berani ga ya? Ok, kita coba.
Saya masih ingat sekali, pertama kali harus melihat peralatan menyelam dari jarak yang sangat dekat itu di bulan Januari 2018, setelah 3 hari keliling pulau, berjemur dan belajar berenang di Morotai (belajar berenangnya jauh ya……) dan tiba-tiba beraneka peralatan menyelam yang selama ini hanya saya lihat di TV, majalah dan dunia maya akhirnya ada di depan saya. Pantai Jikomalamo! Ya, di sanalah untuk pertama kali saya memberanikan diri untuk mencoba mengenakan peralatan menyelam dan akhirnya mencoba menikmatinya sambil melihat apa yang ada di bawah laut Indonesia ini.
Tabung oksigen, regulator, pelampung, google mask, fin, sabuk pemberat dan teman-temannya tergeletak di lantai kayu warung sederhana yang sore itu menjadi tempat saya untuk pertama kalinya mencoba menyelam. Eh, jangan salah…. menyelamnya bukan di warung itu, tapi di laut yang ada di depannya, hanya dengan menuruni sebuah tangga kayu di teras warung, maka sampailah saya di laut. Ketika untuk pertama kalinya mengenakan wetsuit dan sabuk pemberat, saya tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaan saya pada saat itu. Takut, ga percaya, bimbang, bingung, dan rasanya isi perut ikut diaduk-aduk. Rasa itu semakin ga jelas ketika saya disuruh menuruni tangga kayu dan nyebur ke laut 😀
Sebenarnya saya sangat senang ketika ujung kaki mulai menyentuh permukaan air laut. Dan perlahan-lahan saya mulai merendam seluruh badan hingga sebatas leher di air laut yang cukup hangat sore itu. Namun ketika melihat seperangkat bouy dan tabung oksigen didekatkan kepada saya, mendadak badan saya tremor. Oh my God, should I try this????
Setelah mengenakan fin dan menggantung google mask dengan rapi di leher, saya mulai mencoba mengenakan bouy yang telah dilengkapi dengan tabung oksigen. Karena ini untuk pertama kalinya saya mengenakan perlengkapan menyelam, saya masih bingung dengan berbagai strap yang ada di bouy yang harus dikaitkan dan harus dikencangkan agar melekat erat di tubuh. Teman yang mendampingi saya sebagai dive buddy mencoba tombol untuk mengisi dan mengurangi angin pada bouy, dan kemudian meminta saya untuk mencoba fungsi dari regulator, apakah bisa digunakan untuk bernapas dengan baik atau tidak. Kalau mau tau gimana perasaan saya pada saat itu, rasanya pengen kabur (ahahahahahaha….) jiper juga membayangkan harus totally bernapas dengan mengandalkan oksigen yang disalurkan melalui regulator dan meninggalkan udara bebas di atas permukaan air.
Oh iya, sebelum nyemplung di laut tadi, saya sudah diajarkan bagaimana caranya membersihkan mask saat berada di dalam air, menghilangkan gangguan di telinga akibat tekanan air, apa saja yang harus dipatuhi saat sedang menyelam (yang terpenting adalah tidak boleh menyentuh apapun yang ada di dalam air), bagaimana menyeimbangkan badan saat harus mengapung di dalam air, bagaimana cara berdiri dengan lutut di dasar laut, kode apa saja yang digunakan sesama penyelam untuk berkomunikasi di dalam air dan sebagainya. Saya yang selama ini terbiasa dengan snorkeling dan punya kebiasaan membuka mask dan membersihkannya saat fogging terus terang sedikit deg deg an ketika nanti harus praktek membersihkan mask di dalam air. Oh God!!!
Setelah bouy dan tabung oksigen terpasang dengan benar, dan sudah saya coba fungsinya, perlahan-lahan saya ditarik oleh dive buddy menuju bagian tengah, menjauhi tangga kayu yang sedari tadi saya gelayuti (honestly, saya takut saat itu). Saya mencoba rileks. Dan ketika telah sampai di tengah, sekitar 20 meter dari tangga kayu tadi, dive buddy meminta saya untuk membiasakan diri dulu dengan regulator yang untuk sekian menit ke depan akan menjadi tumpuan pernapasan saya. Saya mencoba menenggelamkan kepala dan bernapas dengan regulator, mencoba percaya bahwa saya bisa mengandalkan napas saya pada tabung oksigen yang menempel di punggung. Baru beberapa detik di bawah air, saya memberikan isyarat untuk naik. Dada saya berdebar kencang, detak jantung seolah habis mengikuti marathon dan napas saya sedikit tersengal-sengal. Saya panik!
Untung dive buddy yang menjadi tandem saya sore itu sangat sabar.
Setelah kepala saya muncul dipermukaan, saya langsung melepas mask dan berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ternyata bernapas dengan menggunakan hidung jauh lebih nikmat ketimbang menggunakan mulut! Trust me!!
“Kenapa?” dive buddy bertanya sambil memperhatikan saya.
Saya hanya diam sambil berusaha memenuhi paru-paru dengan udara. “Dada rasanya sesak”, hanya itu yang bisa saya katakan. Dive buddy saya hanya tersenyum sambil bilang “Tenang aja, jangan panik. Biasa itu, kan baru pertama kali”.
Sekitar 2 menit di permukaan, dive buddy saya memberi aba-aba untuk kembali mencoba turun. Dan lagi-lagi, setelah kurang lebih 3 menit di bawah air, saya merasakan air rembes dari sela-sela google mask saya. Dan sekali lagi saya memberi kode untuk naik ke permukaan.
“Apalagi?” tanya dive buddy saya.
“Ini, mask-nya kemasukan air” jawab saya cepat sambil memperbaiki posisi google mask dan menghilangkan fogging yang ada di permukaan kacanya.
“Ini terakhir kali ya naik ke permukaan. Kan tadi sudah diajari cara membersihkan mask di dalam air”, sahut dive buddy.
Saya tidak terlalu memperhatikan. Saya sibuk menenangkan degub jantung yang kembali memburu. Berbicara dengan diri sendiri “Tenang, kamu bisa. Kan didampingi dive buddy”.
Setelah berusaha memenuhi paru-paru dengan udara dari permukaan, perlahan saya memasang mask, menggigit regulator dan mulai menurunkan kepala hingga terendam air. Mulai membiasakan diri dengan air yang sedemikian banyak di sekeliling saya, menenangkan hati dan pikiran, mengatur napas dan mencoba menyelaraskan gerakan kaki. Dive buddy membawa saya ke dasar laut dan mengajarkan bagaimana menjaga keseimbangan dengan berdiri menggunakan lutut di permukaan pasir di dasar laut. Karena ini adalah pertama kalinya saya mencoba menyelam, badan saya belum bisa stabil mengikuti pergerakan air. Rasanya seperti didorong ke kanan dan kiri, depan dan belakang. Badan saya bergoyang-goyang, mencoba stabil sambil bertumpu di atas lutut. Dan ketika saya sudah mulai stabil, dive buddy mulai mengajak saya berkeliling.
Mata saya mulai menikmati pemandangan yang saya temui di dalam laut. Gerombolan ikan-ikan kecil yang berenang bersama. Ikan-ikan lucu dengan warnanya yang tidak biasa terlihat mengintip dari balik coral, dan tentu saja beraneka bentuk dan warna coral yang baru kali ini saya lihat dengan mata dan kepala sendiri. I love it!!
Sekitar 30 menit di bawah air, dive buddy mendorong saya ke permukaan. Ok, trial scuba yang pertama berhasil, walau dengan beberapa kali interupsi 😀
Kesannya? Mau coba lagi!!!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sekitar 2 bulan sejak pengalaman pertama saya menyelam, saya kembali mengunjungi Pantai Jikomalamo. Kali ini dengan tekad yang lebih kuat, harus bisa menyelam dengan lebih baik dibanding yang pertama dulu.
Kembali mengunjungi warung kayu yang sama, kali ini saya lebih tenang.
Ketika harus turun dan mengenakan bouy serta menggendong tabung oksigen, detak jantung saya tidak lagi terasa memburu. Hanya sedikit lonjakan-lonjakan kecil saat panik tiba-tiba menghampiri.
Untuk trial scuba yang ke-2 ini, saya mulai belajar memegang kamera sendiri. Ketika trial scuba yang pertama, kamera underwater yang saya bawa saya pasrahkan kepada teman dari dive buddy saya. Karena saya sangat yakin bahwa saya akan abai dengan kamera. Nah, di kesempatan yang ke-2 ini, dive buddy menyuruh saya untuk belajar memegang kamera dan mengambil gambar sendiri. Kali ini saya lebih rileks, ketika tubuh sudah sepenuhnya berada di salam air, saya mulai bisa menyeimbangkan tubuh dengan lebih baik. Menikmati gelombang-gelombang kecil yang menggoyangkan badan saya ke kanan dan kiri, atas dan bawah. Mata saya mulai terbiasa melihat coral beraneka bentuk dan warna, ikan-ikan lucu dengan warna dan bentuknya yang tidak biasa, serta binatang-binatang laut lainnya yang ada di sana.
Dive buddy mengajak saya berkeliling dan menyelam lebih dalam.
Di kesempatan ke-2 ini saya begitu menikmati. Apalagi ketika menemukan beberapa anemone (ikan badut/nemo) dan rumahnya yang seperti lampu, bercahaya. Berkali-kali saya memberikan isyarat kepada dive buddy untuk menunggu hingga saya mendapatkan foto Nemo yang bagus. Dan mungkin karena saya terlalu lama di spot tersebut, dive buddy saya terlihat tidak sabar dan meminta kamera dari tangan saya, kemudian menyelam mendekati anemone dan mengambil fotonya dari jarak yang lebih dekat. But unfortunately, setelah dilihat hasilnya ternyata bluuuuurrr….. :p
Mungkin saya terlalu asyik menikmati kegiatan menyelam yang ke-2 ini. Dive buddy sampai berkali-kali memberikan isyarat untuk naik ke permukaan, namun hanya saya jawab dengan gelengan kepala dan isyarat tangan bahwa saya belum selesai. Hingga akhirnya dive buddy mendorong tabung oksigen saya dan mengarah ke permukaan 😀
“Dih, kemarin-kemarin waktu menyelam berkali-kali minta naik. Giliran sekarang, disuruh naik malah geleng-geleng mulu”, dive buddy saya protes sesampainya kami di permukaan. “Mbak, ini sudah hampir 45 menit lho di bawah. Oksigennya hampir habis”, omel dive buddy.
Saya hanya bisa nyengir sambil berkata “Ternyata menyelam itu asyik ya…….”.
Dan sejak itu, saya tidak pernah melewatkan setiap kesempatan untuk menyelam. Bahkan terakhir kali menyelam kemarin, saya tidak lagi menyelam melalui beach entry, namun harus terjun dari atas kapal karena area menyelamnya tidak terlalu dekat dengan pantai. Backroll!!! Dan…… saya suka!!! Rasanya pengen berkali-kali backroll dari atas kapal untuk terjun ke laut.
Bener deh, jangan sekali-kali mencoba untuk menyelam. Pokoknya jangan! Karena ditanggung bakal ketagihan, addict!
Oh iya, kalau ingin kenal dengan dive buddy yang selalu mendampingi saya menyelam, bisa langsung cek laman media sosialnya. Saya juga pernah menulis tentangnya di blog ini.