“Toma pariyama nange enare, ino ngone moi moi, ngofa sedano sobaka puji te jou madubo, Jou Allah SWT, lahi dawa, laora laowange, kie segam, daerah se toloku sehat se salamat, kuat se future, magoga se marorano, mabarakati se mustajab cili ifa ingali ifa”
Perjalanan panjang di Halmahera selama 4 hari tidak menyurutkan niat saya untuk datang dan menyaksikan pembukaan rangkaian acara dalam rangka Hari Jadi Tidore ke-910 yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2018 yang lalu. Jadual yang penuh selama di Halmahera menyebabkan saya baru bisa menyeberang menuju Tidore dari pelabuhan Loleo di pulau Halmahera sekitar pukul 5 sore. Hati sedikit ciut melihat permukaan air laut yang bergelombang, namun rencana harus tetap dilaksanakan. Bismillah.
Perjalanan dengan speedboat selama kurang lebih 45 menit membelah laut di antara Pulau Halmahera dan Pulau Tidore ternyata tidak seseram seperti yang saya bayangkan. Gelombang cenderung lebih tenang dibandingkan saat saya menyeberang dari Ternate menuju Halmahera 4 hari sebelumnya. Dan akhirnya, To Ado Re! Saya kembali menjejakkan kaki di tanah Tidore, tanah yang membuat saya jatuh cinta sejak pertama kali mengunjunginya beberapa bulan yang lalu. Saya harus bergegas karena waktu terus bergulir mendekati malam. Nanti malam saya ingin menyaksikan sebuah acara penting yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Malam itu bulan hampir purnama. Langit bersih walaupun udara terasa sedikit menggigit apabila angin sekelebat lewat. Lapangan Sonyine Gurua ramai, mayoritas mereka yang datang berpakaian putih. Sekeliling lapangan tampak terang dengan berpuluh-puluh obor yang dinyalakan. Hiasan dari daun Enau tampak di sekeliling lapangan Gurua yang malam itu sangat ramai. Di sisi sebelah kanan lapangan, berdiri sebuah bangunan tidak permanen menyerupai rumah kecil yang cukup tinggi, terbuat dari Bambu. Tangga sederhana dan sekeliling bangunan itu ditutupi dengan daun Enau yang menjuntai indah. Di setiap sudutnya dipasang sebuah obor. Di tengah-tengah lapangan berdiri sebuah bangunan kecil beratap rumbia, berdindingkan daun Enau menjuntai dan sebatang Bambu berselubung kain putih yang diletakkan di bagian tengahnya.
Tidak jauh dari bangunan kecil tadi terdapat sebuah tenda besar yang nantinya akan menjadi tempat bagi Sultan Tidore, Bobato, pejabat daerah dan undangan lainnya yang akan ikut menyaksikan ritual Ake Dango. Ya, malam itu adalah malam pelaksanaan prosesi Ake Dango sebagai pembuka seluruh rangkaian acara dalam rangka Hari Jadi Tidore ke-910.
Di depan pintu masuk utama menuju lapangan, tampak sebuah gerbang yang lagi-lagi dibuat dari daun Enau, Bambu dan pohon-pohon kecil lainnya. Beberapa obor dipasang di sepanjang gerbang. Petugas yang nantinya akan menjaga area jalan masuk ini pun terlihat sudah berjaga-jaga. Mereka menggunakan kemeja putih berlengan ¾ dan bercelana putih gantung, ½ dan 7/8. Tidak lupa ikat kepala putih bersimpul di sisi kiri dan sebagai senjata, mereka membawa parang lengkap dengan Salawaku.
Para pengunjung dari luar Desa Gurabunga, bahkan dari luar Tidore pun tampak ramai di sekeliling lapangan. Beberapa pengunjung tampak memegang kamera untuk mengabadikan prosesi yang hanya ada di Tidore ini dan hanya dilaksanakan 1 kali dalam setahun.
Yang ditunggu pun datang. Sultan Tidore, Hi. Hussain Syah beserta rombongan, pejabat pemerintah daerah, Bobato, dan undangan lainnya mulai memasuki lapangan dan langsung menempati tenda utama. Terdengar aba-aba dari pembawa acara bahwa prosesi Ake Dango akan segera dimulai.
Prosesi Ake Dango merupakan prosesi penyatuan air suci yang diambil dari puncak Kie Marijang oleh perwakilan dari setiap keturunan marga yang ada di Gurabunga, yaitu Tosofu Malamo, Tosofu Makene, Mahifa, Toduho, Folasowohi dan perwakilan dari rumah adat Sowohi Kie Matiti. Prosesi Ake Dango ini sebelumnya telah didahului dengan prosesi Tagi Kie, yaitu proses pengambilan air suci dari puncak Kie Marijang, sehari sebelumnya. Proses pengambilan air suci ini pun hanya bisa dilakukan oleh perwakilan dari anak cucu ke-5 marga yang ada di Gurabunga.
Petugas mulai memanggil nama dari masing-masing marga yang akan membawa air suci untuk disatukan pada sebuah Bambu yang telah disiapkan di tengah lapangan. Terdengar sebuah lengkingan dari alat tiup Tahuri yang menjadi pertanda bahwa pemanggilan nama dari masing-masing marga akan dimulai.
“Eeeee…….. Sowohi Kie Matiti se I ngofa se dano waktu yo joko marua ake dango yo ma susu toma gurua ma sonyine (yang artinya eee…… Sowohi Kie Matiti beserta anak cucunya, waktu telah tiba ake dango – air dalam Bambu 2 ruas setengah, memasuki lapangan Sonyine Gurua)” terdengar panggilan untuk perwakilan dari rumah adat Kie Matiti dari marga Folasowohi.



Terlihat iring-iringan obor dari rombongan rumah adat Kie Matiti mulai mendekati lapangan. Rombongan wanita dengan obor di tangan memasuki lapangan. Wanita paling depan membawa sepotong Bambu yang ditutup dengan kain putih pada ujungnya. Di dalam Bambu itulah terdapat air suci dari rombongan rumah adat Kie Matiti. Rombongan wanita itu menggunakan kebaya putih yang nyaris seragam, dengan kain tradisional sebagai bawahannya. Sehelai kain tradisional serupa selendang terlihat melilit di bagian dadanya, serta sehelai penutup kepala berwarna putih. Wanita pembawa Bambu berisi air suci mendekati bangunan kecil yang terdapat di tengah-tengah lapangan dan menumpahkan air suci yang terdapat di dalam Bambu yang dibawanya ke dalam Bambu yang lebih besar, yang ada di tengah bangunan kecil tersebut. Setelah menuangkan air suci ke dalam Bambu yang terdapat di bangunan yang ada di tengah-tengah halaman, rombongan dari rumah adat Kie Matiti pun mengambil posisi di tepi lapangan.

Kembali terdengar lengkingan suara dari Tahuri, kali ini panggilan ditujukan untuk keturunan marga Tosofu Makene, Tosofu Malama, Folasowohi, Toduho dan terakhir Mahifa. Panggilan untuk rombongan keturunan marga Mahifa berbeda dengan panggilan untuk 5 marga lainnya.
“Eeee……. Sowohi Mahifa se I ngofa se dano waktu yo joko marua ake sou yo ma susu toma Gurua ma sonyine (yang artinya eee….. Sowohi Mahifa beserta anak cucunya, waktu telah tiba ake sou – air obat yang ada dalam sepotong Bambu kecil, memasuki lapangan Sonyine Gurua)” .
Panggilan untuk keturunan marga Mahifa menjadi pertanda bahwa rombongan anak, cucu, cicit dari marga Mahifa segera memasuki lapangan Gurua. Lagi, rombongan wanita yang berasal dari marga Mahifa terlihat berjalan pelan, berbaris, dengan penerangan obor dan membawa sebatang Bambu memasuki lapangan. Menggunakan pakaian yang serupa dengan rombongan dari marga lainnya, rombongan marga Mahifa pun melakukan hal yang sama, menuangkan air suci ke dalam Bambu di tengah lapangan dan kemudian mengambil tempat di tepi lapangan.
Air suci yang telah disatukan di dalam Bambu itu kemudian akan diinapkan semalaman di Desa Gurabunga dengan penjagaan dari perwakilan yang dipercaya untuk setiap marga, masing-masing penjaga akan bersenjatakan parang dan Salawaku. Proses ini kemudian disebut Rora Ake Dango.
Setelah seluruh para Sowohi menempati tempat yang telah disediakan, masuklah penari laki-laki dengan Salai Maku Toti menyambut Ake Dango. Salai Maku Toti ini menggambarkan kegembiraan para Kapita atas penggabungan air suci yang dibawa oleh utusan dari masing-masing marga yang ada di Gurabunga. Tarian Salai Maku Toti ini biasanya ditampilkan untuk menjemput para Sowohi yang pulang dari berziarah. Para penari Salai Maku Toti akan mengelilingi Bambu yang sudah diisi air suci dengan suka cita.
Setelah penari Simore Ake Dango meninggalkan lapangan, terdengar alunan musik tradisional yang sangat indah, serombongan wanita muda berbaju putih terlihat memasuki lapangan. Beberapa kain putih persegi terlihat dibentang di beberapa titik di lapangan Gurua. Rombongan penari itu pun memisahkan diri dan mengambil tempat di masing-masing lokasi, di mana terdapat kain putih yang telah dibentangkan tersebut. Rombongan terakhir terdiri dari 5 wanita muda, salah seorang dari mereka memegang sebuah payung putih berenda. Rombongan ini langsung menuju ke tengah lapangan. Ternyata mereka adalah para penari Salonde. Tarian Salonde ini diambil dari ritual Salai Jin (ritual tradisional yang ada di Tidore) salah satu marga di Gurabunga, yaitu marga Tosofu Malamo, yang mengisahkan tentang penjemputan Sowohi yang baru pulang dari berziarah.

Baru saja rombongan penari Salonde undur diri ke pinggir lapangan, tiba-tiba, terdengar lengkingan teriakan dan 2 orang lelaki dewasa berpakaian putih dengan ikan kepala merah, serta membawa parang dan Salawaku memasuki lapangan. Mereka mengelilingi bangunan kecil yang ada di tengah lapangan. Kehadiran 2 lelaki dewasa itu diikuti dengan beberapa anak kecil dengan pakaian serupa. Kapita! Ya, mereka adalah para penari Kapita yang malam itu ikut menjadi bagian dari Prosesi Ake Dango. Tarian Kapita ini melambangkan semangat juang dari prajurit Kesultanan Tidore dalam mengusir penjajah. Tarian ini biasa ditampilkan untuk menyambut tamu undangan. Dan saya mengenal baik salah seorang penari Kapita itu, Ko Gogo! Saya masih berkeingingan untuk mengabadikan tarian Kapita ini secara penuh, setiap langkahnya. Ko Gogo, someday kalau akan tampil lagi, jangan lupa kirim kabar ya.
Tarian yang sangat energik itu begitu menghipnotis saya yang baru pertama kali melihatnya secara langsung. Lengkingan-lengkingan teriakan terdengar sahut-menyahut. Derap kaki para penari Kapita terlihat kompak dan tegas menjejak bumi Marijang. Aura bersemangat seolah terpancar dari setiap kelebatan mereka yang secara dinamis terus mengelilingi lapangan Gurua. I love that dance!
Malam itu Sultan Tidore, Hi. Hussain Syah menyampaikan pesan bahwa ada nilai-nilai yang harus tetap dijaga oleh seluruh masyarakat Tidore, yaitu Fomagogoru se Madodara (saling mengasihi dan menjaga), Maku Waje (saling mengingatkan), Maku Toa Soninga (saling menasehati), Maku Sogise (saling mendengar), Maku Digali (saling membantu) dan Maku Duka (saling menyayangi).

Pembacaan Borero Gosimo dalam bahasa Tidore menambah kesakralan seluruh rangkaian prosesi Ake Dango malam itu. Pesan-pesan leluhur yang diperdengarkan terasa begitu dalam artinya. Dan ternyata, saya mengenal sosok yang menjadi pembaca Borero Gosimo malam itu. Ya, pembaca Borero Gosimo malam itu adalah Idun, pemuda asli dari Gurabunga yang bernama asli Ridwan Ibrahim. Proud of you, Dun!

Borero Gosimo
Toma pariyama nange enare, ino ngone moi moi, ngofa sedano sobaka puji te jou madubo, Jou Allah SWT, Lahi dawa, laora laowange, kie segam, daerah se toloku sehat se salamat, kuat se future, magoga se marorano, mabarakati se mustajab cili ifa ingali ifa
Ngofa sedano toma kie Todore se daerah se toloku soninga, soninga, soninga
Fela lao, lila se honyoli, ruku se sodabi, ahu se gogahu, rejeki se rahmati, sone se ahu, ge toma jou madubo, Jou Allah Taala yo atur sefato. Tabali se tabareko, no sogewa gewa la sojud se malahi te Jou Allah Taala soninga kie se gam enare ma madafolo dzikirullah se madarifa papa se tete
E… ngofa sedano toma kie Todore se daerah toloku soninga, soninga, soninga
Fela lao lila se honyoli, ruku se sodabi kie se gam daerah se toloku toma suru se gulu, Todore, Gam Range, Kolano ngaruha mafar soa raha Papua Gamsio, Seram se Gorong, Kei se Tanimbar ge rimoi bato jo, soninga limau madade-dade ge mabara jiko se doe
E… ngofa sedano toma kie Todore se daerah se toloku soninga jo, soninga jo, soninga
Fela lao, lila se honyoli, ruku se sodabi, kie se gam re duka se badisa. Mapolu ino, marimoi nyinga, makusodorifa kefe, la sogado-gado se sodorine ena majarita gatebe kie segam roregu yali soninga, ngone ua se nage yali, nange ua se fio yali
E… ngofa sedano toma kie Todore se daerah se toloku soninga jo, soninga jo, soninga
Fela lao, lia se honyoli, ruku se sodabi, gosimo na dodia, adat senakudi, atur se aturan, fara se filang, syah se fakat, budi se bahasa, ngaku se rasai, mae se kolofino, cing se cingeri, ena sosira ge, kie se gam macahaya duka. Soninga. Fo banofo banga refa la fo dahe maguraci
E… ngofa sedano toma kie Todore se daerah se toloku soninga, soninga, soninga
Awal toma pariyama nange enare sogoko se sodagi loa sebanari aku ua maku sodoa dulu sojako gai, aku ua maku gahi jira, aku ua makudutu, se makudola. Aku ua yau pasi rimo moro-moro maku taigahi soninga, regu ua Todore bato maku gosa jira ifa
E… ngofa sedano toma kie Todore se daerah se toloku soninga, soninga, soninga
Gosimo sogado borero, ruba fola ifa, mabuku raha gosimo gia maace, sodia linga banga ifa, ngofa se dano se dagi-dagi
– Tulisan ini dimuat dalam rubrik Tanah Air Beta, OnTrack – On Train Magazine, Volume 7, edisi November 2018 –
wahh Tidore dan Halmahera masih dalam mimpi nih.. belum kesampaian kesana.
serunya bisa ikut melihat prosesi tradisional seperti ini ya.
Hai Endah,
Ake Dango adalah acara tahunan sebagai pembuka rangkaian acara HUT Tidore di setiap bulan April.
Acaranya seru dan sakral! Harus lihat langsung, paling ga sekali.
Halmahera juga cakep banget alamnya, saya masih ingin keliling di Taman Nasional Aketajawe 🙂
I have been browsing online more than 4 hours today, yet I never found any interesting article like yours.
It is pretty worth enough for me. In my view, if all website
owners and bloggers made good content as you
did, the web will be much more useful than ever before.
thank you 🙂