Kalau berkunjung ke Morotai jangan sampai tidak singgah ke Jalan Amerika, Desa Tubela, Bom Magolong! Apalagi untuk pecinta sejarah. Itu adalah tempat yang wajib dan harus dikunjungi. Memangnya ada apa di sana?
Let me tell you a story….
Di Desa Tubela, berdiri sebuah rumah permanen berdinding semen kasar, berada di tengah kebun kelapa. Di dinding bagian luar rumah terbentang sebuah bendera Merah Putih panjang, dan di tengah-tengahnya terdapat sebuah papan nama sederhana bertuliskan: “Museum Swadaya Perang Dunia Kedua di Morotai Hilang Nampak Kembali”.
Mari berkenalan dulu dengan pemilik rumah unik tersebut, pak Muhlis Eso!
Pak Muhlis merupakan putra asli Morotai yang memiliki hobi unik sejak belia. Apabila kita memasuki rumahnya, di salah satu sisi ruang depan terdapat Wall of Fame bernuansa merah putih yang penuh berisi tanda tangan dari mereka yang pernah berkunjung ke sana (termasuk saya). Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah lemari kaca yang berisikan berbagai macam koin peninggalan Perang Dunia II. Terdapat juga berbagai macam morphine di dalam tabung-tabung kaca kecil yang menurut cerita pak Muhlis, biasa dibawa oleh tentara-tentara asing yang dulu bermarkas di pulau Morotai saat mereka berperang, untuk kondisi darurat sebagai penghilang rasa sakit apabila mereka terluka. Di dalam lemari kaca juga terdapat berbagai model dog tag militer yang merupakan tanda pengenal dari tentara-tentara itu.
Beranjak ke ruang tengah, semakin banyak benda-benda bersejarah yang juga merupakan peninggalan Perang Dunia II di Morotai. Berbagai macam botol Coca Cola, bayonet, selongsong granat, selongsong peluru beraneka ukuran, topi baja, senapan otomatis, tempat makan prajurit, botol minum, dan masih banyak lagi.
Sekilas mengenai Perang Dunia II di Morotai. Pulau Morotai merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di Halmahera Utara, Kepulauan Maluku, merupakan salah satu pulau paling utara yang dimiliki oleh Indonesia, berhadapan langsung dengan samudera Pasifik dan letaknya tidak seberapa jauh dari negara tetangga Filipina. Bulan Juli 1944, seorang Komandan South West Pacific Area, Jenderal Douglas MacArthur, memilih Morotai untuk dijadikan sebagai lokasi pangkalan udara dan fasilitas angkatan laut yang diperlukan untuk mendukung pembebasan Mindanao.
Kembali ke Museum Swadaya Perang Dunia II.
Sebagai cucu dari seorang pejuang di tahun ’45, pak Muhlis sudah tertarik dengan segala sejarah yang terjadi di Morotai sejak berumur kurang lebih 10 tahun. Ketertarikannya itu mendapat dukungan dari keluarganya. Dan sejak itu, pak Muhlis memulai hobinya berburu barang-barang peninggalan Perang Dunia II yang dulu terjadi di Morotai. Semua temuan terkait Perang Dunia II dikumpulkan di halaman rumahnya. Barang-barang tersebut didapat di sekitar tempat tinggalnya ataupun desa-desa lain yang ada di Morotai.
Dengan fasilitas yang masih seadanya, pak Muhlis berusaha menjaga semua temuan bersejarah itu dengan sangat hati-hati. Memang, museum swadaya yang dikelolanya masih jauh dari arti museum yang sebenarnya. Fasilitasnya pun belum memadai, begitu juga dengan perawatannya. Namun tekad pak Muhlis untuk mengumpulkan dan menjaga peninggalan bersejarah itu patut dihargai.
Dua kali saya mengunjungi museum swadaya ini, namun rasanya masih saja kurang informasi dan cerita yang saya dapatkan. Setiap ada pengunjung yang datang ke museum sederhana ini, pak Muhlis akan menemani langsung dan bercerita mengenai sejarah dari benda-benda yang ditemukannya. Pernah saya bertanya, bagaimana caranya beliau bisa menemukan sedemikian banyak benda-benda peninggalan Perang Dunia II tersebut.
Beliau hanya bilang, “Hampir di seluruh tanah Morotai ini banyak benda-benda peninggalan perang. Tinggal gali sedikit di kebun, pasti ketemu. Bahkan di beberapa kebun ada sisa-sisa mobil, tank dan berbagai macam senjata”.
Penjelasan pak Muhlis malah semakin menambah rasa penasaran saya tentang sejarah Perang Dunia II dan kaitannya dengan Morotai.
Menurut pak Muhlis, di laut Morotai lebih banyak lagi sisa-sisa peninggalan perang, seperti bangkai pesawat, kapal, dan peralatan perang lainnya yang dengan sengaja dibuang oleh Sekutu. Bahkan ada salah satu spot diving yang memanfaatkan bangkai kapal dan pesawat yang tenggelam itu sebagai spot favoritnya.
Saya juga sempat bertanya kepada pak Muhlis, bagaimana cara beliau menggali dan mengumpulkan benda-benda bersejarah itu.
Jawaban pak Muhlis justru membuat saya tercengang, “Saya menggali hanya menggunakan cangkul dan linggis”.
Melihat koleksi peninggalan Perang Dunia II yang ada di museumnya itu, saya berdecak kagum. Jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit, bahkan museum sederhana itu terlihat sesak oleh berbagai benda bersejarah yang dikelompokkan secara sederhana berdasarkan jenisnya.
Di museum swadaya ini untuk pertama kalinya saya melihat dan memegang selongsong peluru beraneka ukuran, dari yang seukuran jari kelingking hingga yang tingginya seukuran botol air mineral ukuran 1.5 liter.
Pak Muhlis pernah menunjukkan suatu benda yang menurut cerita beliau adalah sisa dari sirine/pemberi tanda waktu Jepang berkuasa di Morotai. Bentuknya berupa lingkaran, terbuat dari logam dengan permukaannya yang berlubang-lubang seperti bentuk turbin. Di salah satu sisinya terdapat sebuah tuas yang bisa diputar. Pak Muhlis kemudian memutar tuas tersebut, dan seketika terdengar sebuah suara melengking yang makin lama semakin nyaring. Cerita pak Muhlis, benda itu dulu digunakan Jepang sebagai alat untuk memberikan tanda/peringatan. Benda itu ditemukan pak Muhlis di salah satu kebun yang digalinya.
Menghitung waktu, apabila benda itu merupakan peninggalan Jepang, yang artinya benda itu sudah ada di Morotai sejak sekitar tahun 1945, yang kemudian terpendam di dalam tanah, dan sekarang saat digunakan masih bisa berfungsi dengan baik. Wow!
Meninggalkan museum swadaya milik pak Muhlis, saya terus berusaha mengingat semua cerita yang beliau sampaikan. Semoga sejarah itu tidak akan hilang. Karena bagaimana pun, Morotai pernah menjadi bagian penting dari Perang Dunia II. Bahkan di Morotai lah pangkalan perang terbesar Sekutu selama Perang Dunia II.