Sebuah tugu Cengkeh setinggi 5 meter, berdiri tegak di atas sebuah platform beton berukuran 4 x 4 meter setinggi 4 meter yang sudah kusam di dalam sebuah halaman yang penuh reruntuhan bata dan tampak tidak terpelihara. Lokasinya persis di belakang sebuah masjid yang saya singgahi ketika berkeliling di Kota Ternate. Sebuah pintu besi hijau tampak menempel erat dengan gerbang putih yang bertuliskan “Jou Se Ngofa Ngare” dan sebuah lambang burung Garuda berkepala dua (Goheba Madopolo Romdidi) di atasnya. Tugu Cengkeh tersebut dibangun pada tahun 1994 sebagai peringatan atas pembunuhan Sultan Khairun Jamil oleh Portugis dan perlawanan rakyat Ternate di dalam mengusir Portugis dari bumi Ternate.
Di sekeliling platform beton terlihat tulisan yang mengidentifikasi tanggal: 28 Februari 1570 (relief tentang pembunuhan Sultan Khairun Jamil), 28 Februari 1570 (relief tentang dimulainya perlawanan oleh Sultan Babullah), 26 Desember 1575 (relief tentang bangsa Portugis menyerah kepada pasukan Sultan Babullah), dan 31 Desember 1575 (relief tentang hengkangnya Portugis dari bumi Ternate). Tugu Cengkeh tersebut adalah penanda dari Benteng Kastela, sebuah benteng peninggalan bangsa Portugis yang turut menyumbang cerita kelam bagi sejarah Ternate.
Benteng yang terletak di Jalan Raya Benteng Kastela Santo Paulo, kelurahan Kastela, kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara ini berada di pesisir Barat Daya pulau Ternate, sekitar 12 km dari pusat Kota Ternate. Benteng seluas 2.724 meter persegi ini (yang saat ini tersisa tidak sampai setengah dari luas awalnya) merupakan peninggalan Portugis ini dikenal dengan nama Benteng Gam Lamo, berbentuk persegi empat, terbuat dari batu gunung dan batu kapur. Merupakan bangunan benteng kolonial pertama yang dibangun di Kepulauan Maluku, Indonesia. Pembangunan benteng ini memakan waktu selama kurang lebih 20 tahun karena pengerjaannya dilakukan secara bertahap. Pembangunan tahap awal benteng ini dilakukan pada tahun 1521 oleh Antonio de Brito. Tetapi pengerjaan benteng terhenti dengan kembalinya de Brito ke Gowa (India Barat), namun sebelum tiba di sana, ia terbunuh di dalam sebuah pertempuran di Aceh. Pembangunan benteng kemudian diteruskan oleh Garcia Henriquez pada tahun 1525. Dan di tahun 1530 pembangunan diteruskan oleh Gonsalo Pereira. Penyelesaian pekerjaan pembangunan benteng dilakukan oleh Jorge de Castro di tahun 1540.
Pada awalnya benteng ini diberi nama Nostra Senhora de Rosario yang artinya wanita cantik berkalung bunga mawar. Namun kemudian penamaan benteng ini pun dibuat dalam beberapa bahasa, yaitu São João Batista (Portugis), Ciudad del Rosario (Spanyol) atau Gammalamma (Ternate dan Belanda), namun masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Benteng Kastela.
Hingga tahun 1569, Benteng Kastela (Gam Lamo) merupakan satu-satunya benteng kolonial yang berdiri di luar Melaka. Setelah itu barulah dibangun benteng-benteng lain di Ambon, Jailolo, Moro (Tolo dan Samafo), Banda dan Makasar. Namun benteng-benteng yang dibangun itu lebih menyerupai rumah kembar ketimbang benteng yang sesungguhnya.
Benteng Kastela menyimpan cerita kelam bagi rakyat Ternate. Di benteng inilah pada tanggal 28 Februari 1570 terjadi peristiwa pembunuhan Sultan Khairun Jamil oleh Antonio Pimental yang menerima perintah dari Diego Lopez de Mesquita (Gubernur Portugis ke-18) yang dilakukan melalui tipu muslihat. Padahal, sehari sebelumnya, yaitu pada tangal 27 Februari 1570, Sultan Khairun Jamil dan Antonio Pimental baru saja melakukan perjanjian untuk saling menjaga perdamaian di Moloku Kie Raha. Pembunuhan ini memicu pergolakan di tanah Ternate. Sultan Babullah, yang merupakan pewaris tahta Kesultanan Ternate menuntut agar Diego Lopez de Mesquita diajukan ke depan pengadilan dan dihukum atas tindakannya. Dan ketika tuntutan itu ditolak, terjadi perlawanan dari rakyat Ternate. Di bawah pimpinan Sultan Babullah, rakyat Ternate kemudian mengepung Benteng Kastela selama 4 tahun (1574 – 1578) dan memberikan ultimatum agar Portugis segera meninggalkan tanah Ternate.
Pengepungan yang dilakukan oleh Sultan Babullah dan rakyat Ternate menyebabkan terjadinya wabah penyakit dan kelaparan di lingkungan benteng sehingga kemudian Portugis melakukan evakuasi besar-besaran dari Ternate. Awalnya mereka transit ke Tidore dan selanjutnya terus ke Goa. Dalam kurun waktu pengepungan selama 4 tahun itu, tercatat ada 20 Gubernur Portugis yang mengisi benteng tersebut. Ketika bala bantuan Portugis dari Gowa dan Melaka tiba di Ternate, semua sudah terlambat. Armada Portugis hanya bisa melihat puing-puing bekas kekuasaan Portugis di Ternate.
Setelah kekalahan Portugis, Benteng Kastela dijadikan pusat kekuatan perang Kesultanan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Babullah dan Kapita Lao. Area di sekitar benteng menjadi pusat kekuatan laut Kesultanan Ternate. Dari situlah Sultan Babullah melakukan berbagai perjalanan menuju Banggai, Tambuko, Tibora (di Pulau Panggasan) dan Buton. Benteng Kastela berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate selama 30 tahun hingga datangnya Spanyol di bawah pimpinan Don Pedro Bravo da Chunha di tahun 1606. Kejadian ini terjadi di masa pemerintahan Sultan Said Barakat (selanjutnya Sultan Said Barakat diasingkan ke Manila hingga wafat di sana).
Tahun 1610, benteng ditempati oleh 200 orang Spanyol, 90 papangers (salah satu suku dari Filipina), 30 keluarga Portugis, 70-80 tukang yang berasal dari China, serta 50-60 orang Kristen Ternate. Pada tahun 1627, benteng ini memiliki kekuatan sebanyak 38 meriam, dan 1 kompi serdadu Spanyol yang berjumlah 60-65 orang. Spanyol menguasai Benteng Kastela hingga tahun 1660. Ketidakmampuan Spanyol bersaing dengan VOC di dalam perdagangan rempah, akhirnya membuat otoritas Spanyol di Manila kemudian menarik kembali pasukannya dari kawasan Maluku di tahun 1662 yang kemudian diberdayakan untuk menghadapi penyerbuan besar-besara dari bajak laut Tiongkok yang akan merebut kota Manila. Hengkangnya Spanyol ditandai dengan penghancuran benteng ini, sehingga hanya tinggal reruntuhan bastiong dan menaranya saja.
Saat ini, yang bisa ditemui hanyalah reruntuhan Benteng Kastela yang tampak kurang terurus. Tugu Cengkeh dan relief yang ada penuh dengan grafity tidak jelas yang ditorehkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Walaupun Benteng Kastela sekarang hanyalah tinggal puing-puing dan tumpukan reruntuhan, namun semangat Perjuangan rakyat Ternate yang tampak di relief masih terasa menggelora.