Perjalanan saya di bumi rempah masih terus berlanjut. Setelah melihat cerita kejayaan Kesultanan Ternate, saya melanjutkan perjalanan untuk mengintip sedikit cerita sejarah di kota ini. Kota yang memiliki banyak benteng peninggalan sejarah ini tentunya akan menyuguhkan cerita yang tak kalah menarik. Benteng Tolukko merupakan benteng yang pertama kali saya singgahi di Kota Ternate.
Berlokasi di Kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Propinsi Maluku Utara, Benteng Tolukko terlihat sangat terpelihara. Berada pada ketinggian 6,2 mdpl, benteng ini hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Kesultanan Ternate, berada di dalam sebuah komplek dengan pagar besi berwarna hitam yang membatasinya dengan lingkungan luar, kondisi di sekeliling benteng ini sangat rapi. Bahkan terlalu rapi (menurut saya) untuk tampilan sebuah bangunan bersejarah yang sudah berumur ratusan tahun. Sebuah gerbang besar terbuat dari beton yang dicat kuning dan memiliki sedikit atap berwarna terracotta menyambut saya. Sebaris kalimat “Ino Wosa Lafo Waro Masejarahnya” terpampang di bagian atas gerbang. Di bawah kalimat tersebut tertulis sebaris kalimat berbahasa Indonesia “Mari Masuk Supaya Kita Tahu Sejarahnya”.

Memasuki gerbang benteng, terlihat taman yang mengelilingi benteng tertata rapi. Pot-pot bunga besar terbuat dari batu tampak menyusun formasi di sepanjang jalan setapak yang terbuat dari beton, yang mengarah menuju bangunan benteng. Berbagai macam tanaman hijau dan bunga terlihat menghiasi halaman benteng. Benteng Tolukko dibangun di atas pondasi batuan beku, terbentuk dari 3 buah bastion, ruang bawah tanah, halaman dalam, lorong, serta bangunan utama berbentuk segi empat. Konstruksi bangunannya sendiri terdiri dari campuran batu kali, batu karang, pecahan batu bata dan direkatkan menggunakan campuran pasir dan kapur.
Benteng ini dibangun pada tahun 1540 oleh seorang Panglima Portugis bernama Francisco Serao, dan diberi nama Santo Lucas. Benteng ini awalnya difungsikan sebagai benteng pertahanan Portugis serta tempat penyimpanan rempah-rempah asli Ternate yang akan mereka perdagangkan. Letak benteng yang berada di atas bukit, dan sangat dekat dengan wilayah perairan Ternate membuatnya sangat strategis karena dapat secara langsung mengamati pergerakan yang terjadi di Kesultanan Ternate.
Kekuasaan Portugis berakhir di tahun 1577 karena lahirnya perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Babullah. Sejak saat itu, Benteng Santo Lucas dikuasai oleh Kesultanan Ternate hingga datangnya Belanda di bumi rempah tersebut, merebut benteng dan mengganti namanya menjadi Benteng Hollandia. Pada tahun 1610 benteng tersebut direnovasi oleh Pieter Both dan menjadi salah satu tempat pertahanan Belanda di Ternate. Berdasarkan beberapa perjanjian kerjasama yang terjadi antara Kesultanan Ternate dan VOC, maka pada tahun 1661 Sultan Ternate yang bernama Sultan Madarsyah diberi ijin untuk menempati Benteng Hollandia bersama sekitar 160 orang personilnya.
Nama Tolukko yang sampai saat ini melekat pada benteng itu sendiri masih menjadi cerita yang penuh tanda tanya. Satu kisah menceritakan bahwa nama Tolukko digunakan sejak salah satu Sultan Ternate yang bernama Kaicil Tolukko memerintah sekitah tahun 1692. Namun kisah lainnya menyebutkan bahwa nama Tolukko berasal dari penyebutan nama asli benteng itu, yaitu Benteng Santo Lucas. Masyarakat asli Ternate yang kesulitan melafalkan nama Santo Lucas akhirnya menyebut benteng tersebut sebagai Benteng Tolukko.
Menurut cerita, ada sebuah lorong rahasia yang mengarah langsung ke wilayah pantai. Dahulu, saat pemerintahan Portugis dan Belanda, jalan rahasia tersebut difungsikan sebagai jalur melarikan diri apabila terjadi pemberontakan atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Namun pada tahun 1864, benteng ini dikosongkan oleh Residen P. van der Crab karena sebagian bangunannya telah mengalami kerusakan. Pada saat dilakukan pemugaran tersebut, bangunan benteng ditinggikan sekitar 70 cm. Oleh pemerintah Republik Indonesia, bengunan benteng ini kemudian dipugar dan di perbaiki pada tahun 1996 – 1997.
Berada di dalam Benteng Tolukko membuat angan saya seolah memasuki mesin waktu. Menyusuri lorong batu kecil berukuran kurang lebih 1 meter, yang menjadi satu-satunya akses menuju bagian dalam benteng membuat saya seolah-olah mendengar cerita masa lalu. Lantai batu yang mulai berlumut seperti menunjukkan berjuta bahkan bermilyar kaki yang pernah menapakinya. Dari atas bangunan benteng, saya bisa melihat Pulau Halmahera, Maitara dan Tidore di kejauhan. Kokohnya bangunan Benteng Tolukko seolah bercerita, walaupun berbagai kisah kelam yang pernah dialami rakyat Ternate telah disaksikannya, namun Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil yang manis. “Tolukko, terima kasih untuk cerita sejarah yang telah kau berikan, perjuanganmu dahulu akan selalu kami ingat”.