Ariel: “Haaa, itu dua pangeran Bantam yang bikin seantero kota demam!
Sungguh beda dari lakon tokohmu, Caliban, mereka tak bertaring pun berbulu! Yang dibayangkan Shakespeare tentang orang Timur, huh, ternyata ngawur!”
Caliban: “Sebaliknya, mereka nampak beradab. Lihat berdirinya — sungguh tegap! Dari ujung sorban hingga ujung kasut, sutra Shantung membalut Pisau kesatria yang disebut keris? Bertahta berlian, safir, dan amethyst!” (diambil dari cuplikan percakapan pentas Serenceng Dongeng di Tepi Sungai Thames by Teater Koma)
29 April 1702, Pelabuhan Sandar Erith
Hari masih pagi. Perahu-perahu hilir mudik di sepanjang Sungai Thames – sungai sepanjang 346 km yang membelah Kota London. Seorang wanita muda, cantik, terlihat bingung di tepi dermaga. Sebuah perahu mendekat dan menawarkan tumpangan. Akan ke mana kah wanita itu pergi? Ternyata wanita muda itu ingin pergi ke Bantam! Sebuah negeri nun jauh di seberang samudra.
Tukang perahu berusaha mencari tahu, apa yang menjadi alasan wanita muda ini ingin pergi ke Bantam? Ternyata… kisah kemakmuran dan kejayaan Kesultanan Bantam telah sampai ke dataran Eropa. Bagaimana kesultanan itu berhasil memakmurkan rakyatnya sehingga banyak Negara-negara lain yang berusaha menjalin kerjasama dengannya.

Mendengar keinginan sang wanita muda, tukang perahu pun bercerita, bagaimana jayanya Kesultanan Bantam tersebut.
London, 29 April – 5 Juli 1682
Kegemparan terjadi di London! Sebuah kapal besar dari Kesultanan Bantam (Banten) berlabuh dan turunlah dua utusan dari Sultan Banten. Mereka adalah (1) Pangeran Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan (2) Pangeran Kyai Ngabehi Jaya Sedana. Mereka menyampaikan niat untuk bersekutu dengan Inggris di timur-jauh untuk bersama-sama melawan VOC Olanda. Rombongan ini diterima oleh Raja Karel II di Istana Windsor. Kedua utusan Banten tersebut kemudian dianugrahi gelar kehormatan “Sir Abdul” dan “Sir Achmet”.
Kedua duta besar itu, membangun hubungan diplomatik dengan berkunjung ke pembesar-pembesar kerajaan dan maskapai perdagangan Inggris – yang memiliki kantor perwakilan dan gudang di Banten, melakukan kunjungan ke gedung pusat pemerintahan kerajaan di Westminter, menyaksikan komedi “The Tempst of Shakespeare”, serta berjalan-jalan menyusuri Sungai Thames.
Utusan dari Kesultanan Banten membawa tak kurang dari 200 kantong lada serta intan permata, dan 33 pelayan sebagai hadiah untuk Raja Britania. Dan, Raja Charles II bahkan hingga dua kali menjamu rombongan dari Kerajaan Banten di istananya!
Kedatangan dua pangeran utusan Kesultanan Banten tersebut membuat London heboh. Ketenaran akan kejayaan dan kekayaan Banten membuat banyak banyak cerita di London, hingga banyak yang ingin datang dan melihat sendiri kejayaan Banten yang terletak nun jauh di seberang lautan.


Kejayaan Banten a.k.a Bantam juga dikisahkan dalam beberapa karya sastra Eropa klasik:
- “Agon, Sulthan van Bantam” karya Onno Zwier van Haren (1713-1779);
- “Love for Love” karya William Congreve (1695);
- “The Court of the King of Bantam” karya Aphra Johnson Behn(1698).
Banten, 1682-1684
Sementara itu, di Banten sendiri sebenarnya sedang terjadi perang dingin antara ayah dan anak. Sultan Ageng Tirtayasa, raja Banten pada saat itu, yang berhasil membawa Banten pada kejayaannya, yang berhasil menjalin hubungan mesra dengan Inggris, Perancis, dan Denmark, serta bekerjasama dengan Kesultanan Makasar, Aceh, Turki dan Mekkah, sedang mengalami hubungan yang sulit dengan anaknya, Sultan Haji (Sultan Abdul Kahar Aboen Nassar).
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, Kota Banten mengalami perkembangan yang pesat. Kanal-kanal yang ada diperlebar dan didalamkan sehingga kapal dagang dapat berlabuh. Armada laut yang modern, hingga swasembada beras karena sawah dan irigasi yang digarap dengan sangat baik. Banten mulai memperkenalkan koin mas sebagai alat untuk berjual beli. Benteng di Banten diperkuat dengan bastion, yang dilengkapi dengan 66 meriam!
Kejayaan Banten akhirnya terkoyak dengan terjadinya perang antara Sultan Tua (Sultan Ageng Tirtayasa) yang jengah dengan kelakuan Sultan Muda (Sultan Haji a.k.a Sultan Abdul Kahar Aboen Nassar). Dan akhirnya perang antara bapak dan anak pun terjadi. Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh Syekh Yusuf dari Makasar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VOC Belanda. Tentu saja bantuan dari VOC itu tidak gratis, syarat yang diberikan adalah Sultan Haji harus memberikan Lampung, sebagai penghasil lada kepada VOC. Sultan Ageng terdesak dan melarikan diri, Istana Tirtayasa dikuasai oleh Sultan Haji dan VOC.
1683 – 1684, terjadi pengejaran besar-besaran terhadap Sultan Ageng. Hingga akhirnya pada 14 Maret 1683, Sultan Ageng tertangkap dan ditahan di Batavia. Kemudian pada Mei 1683, giliran Syekh Yusuf yang tertangkap, dan setahun kemudian Pangeran Purbaya juga tertangkap.
1684, Banten menandatangani perjanjian damai dengan VOC Olanda, menjadi awal monopoli VOC dan hilangnya kedaulatan Banten.

