Mbak Iis, seorang penari Gandrung telah siap berdiri di tengah ruangan terbuka yang terdapat di bagian belakang Waroeng Kemarang, berpakaian lengkap khas penari Gandrung. Dan senja itu saya pun akhirnya bisa melihat dari dekat tarian Gandrung dari Banyuwangi yang sangat terkenal. Diiringi tetabuhan dari sekelompok pria, mbak Iis pun mulai menari.
Tarian Gandrung beberapa waktu yang lalu sempat menjadi trending topik di sosial media gegara ulah sebuah ormas yang menggeruduk dan melarang dilaksanakannya Festival Gandrung Sewu yang dilaksanakan di Pantai Boom Banyuwangi.
Kata “gandrung” sendiri menurut KBBI berarti sangat rindu, tergila-gila atau sangat ingin. Dan untuk tarian Gandrung bisa diartikan sebagai rasa terpesonanya masyarakat Blambangan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan Kemakmuran yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menilik asal muasal tarian Gandrung, konon awalnya tarian ini dibawakan sebagai perwujudan ungkapan rasa syukur masyarakat setelah panen. Tarian Gandrung dipertunjukan dengan iringan musik khas, yaitu Gamelan Osing. Tarian Gandrung dibawakan secara berpasangan oleh seorang wanita (penari Gandrung) dan laki-laki (istilahnya pemaju) yang disebut “paju“. Biasanya tarian ini ditampilkan saat adanya perayaan besar seperti perkawinan, pethik laut. khitanan, tujuh belasan, maupun acara lainnya. Dan biasanya dimulai sekitar pukul 21.00 hingga menjelang subuh, sekitar pukul 04.00.
Alkisah, kesenian Gandrung Banyuwangi ini muncul bersamaan dengan mulai dibabatnya hutan “Tirtagondo” (Tirta Arum) untuk membangun ibukota Blambangan sebagai pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas perintah Bupati pertama Banyuwangi, yaitu Mas Alit yang dilantik pada 2 Februari 1774.
Namun, berdasarkan makalah Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”, Joh Scholte menuliskan bahwa tarian Gandrung: “Asalnya lelaki jejaka bernama MARSAN itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong”.
Sementara Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, tetapi Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita [sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi].
Tarian Gandrung terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:
- Jejer, saat di mana para penari Gandrung akan menari sendiri (tanpa pendamping dan tanpa tamu yang ikut menari);
- Maju, adalah saat penari Gandrung akan mengambil selendang dan mengajak pendamping – paju atau tamu untuk ikut menari bersama;
- Seblang Subuh, merupakan bagian penutup dari tarian ini. Di tahapan ini, para penari Gandrung akan menari secara perlahan dan penuh penghayatan diiringi dengan musik bertemas sedih seperti Seblang Lokento.
Busana penari Gandrung terdiri dari:
- Omprok atau mahkota, terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah, serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima, yang berkepala manusia raksana dan berbadan ular. Omprok kemudian dilengkapi dengan cundhuk mentul – ornamen bunga di bagian atasnya;
- Bagian tubuh menggunakan baju berbahan dasar beludru hitam yang dihiasi dengan ornamen kuning emas serta manik-manik mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit bagian leher hingga dada penari, sedangkan sebagian pundak dan punggung dibiarkan terbuka. Pada bagian leher kemudian diberi ilat-ilatan sebagi penutup dada. Bagian lengan dipasangi kelat bahu, sementara bagian pinggang dihiasi dengan ikat pinggang dan sembong. Sebagai pelengkap, penari Gandrung akan mengenakan selendang di bahunya;
- Bagian bawah penari Gandrung menggunakan kain batik atau jarik dengan corak yang bermacam-macam, namun yang paling umum adalah corak Gajah Oling.
Sebagai pelengkap, biasanya penari Gandrung akan membawa kipas 1 atau 2 buah, dan digunakan hanya pada bagian-bagian tertentu dari tarian.