catatan Minggu, 19 Oktober 2014
Di pagi Minggu kemarin, kembali saya menyusuri sepanjang Jalan Sudirman – Thamrin, menuju Museum Nasional untuk menyaksikan Pentas Dongeng yang ditampilkan oleh Teater Koma dalam rangka mengisi Akhir Pekan di Museum. Sudah 4 bulan terakhir ini, di setiap minggu ke-3, saya selalu meluangkan waktu untuk menikmati akhir pekan yang sedikit anti mainstream.
Pagi itu jalanan ibukota terlihat ramai oleh masyarakat yang sedang berolahraga. Perjalanan lancar, sedikit terkendala dengan lalu lalang orang yang saking asyiknya berjalan menikmati car free day, sampai-sampa tidak sadar bahwa mereka melenggang di jalur bus trans Jakarta, sehingga bapak sopir pun harus berkali-kali menekan klakson untuk menyuruh mereka menepi.
Kali ini saya reversed untuk pertunjukan Pentas Dongeng yang ditampilkan pada pukul 10. Itu adalah jam pertunjukan ke-2. Setelah membeli tiket, saya pun langsung menuju tempat pertunjukan.
Seperti biasa, pertunjukan Pentas Dongeng kali ini diadakan di ruangan terbuka, yang merupakan teras dari gedung pamer yang ada di Museum Nasional. Ketika saya sampai, di ruangan tersebut sudah ramai oleh pengunjung yang duduk santai menggelosor di lantai semen halus itu. Saya pun segera mengambil tempat di sisi sebelah kanan yang masih kosong. Sayup-sayup sebuah intro dari lagu Ibu Kita Kartini terdengar dari lokasi pertunjukan.
Ibu kita Kartini, putri sejati
Putri Indonesia, harum namanya
Ibu kita Kartini, pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia
Ibu kita kartini, putri jauhari
Putri yang berjasa se-Indonesia
Wahai ibu kita kartini, putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia
Pertunjukan Pentas Dongeng ini tidak menggunakan panggung. Setting area pertunjukan hanya ditandai dengan adanya properti yang akan mendukung cerita yang akan dipentaskan. Dan kali ini, di depan saya sudah terpasang 2 buah gawangan. Pada gawangan yang terletak di sebelah kanan saya terdapat sebuah kain batik tulis yang sudah jadi bercorak kotak-kotak (saya kurang paham itu motif apa?) dengan warna sogan. Di atas kain batik itu tersampir sebuah kain mori putih yang sudah memiliki motif orang yang sudah diberi malam. Sedangkan pada gawangan yang berada di sebelah kiri saya, tersampir sebuah kain mori panjang yang telah digambari beberapa motif orang yang berpasangan. Di depan gawangan dengan kain sogan tersebut, terdapat sebuah kompor elektrik, yang di atasnya terdapat sebuah wajan kecil yang berisi malam cair yang sedang dipanaskan dan beberapa jenis canting yang diletakkan di lantai.
Sesosok wanita berpenampilan lembut, menggunakan kebaya putih dengan kain batik bernuansa orange kecoklatan terlihat sedang duduk di sebuah dingklik kayu, menghadap sebuah anglo dengan wajan kecil di atasnya sambil memegang canting. Tiba-tiba, dengan didahului oleh accident menendang dingklik, masuklah seorang remaja putri dengan dandanan modern – berbaju batik dengan padanan celana jeans selutut – sambil berbicara dengan telepon genggamnya. Dari pembicaraannya, diketahui bahwa remaja putri tersebut sedang berbicara dengan bundanya mengenai tugas membatiknya. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, tersebut membahas proses membatik dengan bundanya. Diselingi dengan penjelasan detil tentang proses-proses membatik oleh wanita berpenampilan Jawa yang ada di sebelah kiri.
cerita tentang batik semakin menarik karena dikemas dalam bahasa yang sederhana |
penjelasan mengenai aneka motif batik |
Adapun proses yang harus dilalui untuk membuat sebuah batik tulis adalah:
- Ngemplong, ini merupakan proses awal dari membatik. Di mana kain mori yang akan digunakan untuk membatik dicuci terlebih dulu dengan tujuan menghilangkan kanji yang melekat di kain mori tersebut;
- Pengeloyoran, di sini dilakukan proses memasukkan kain mori yang telah dicuci ke dalam minyak jarak atau minyak kacang yang sudah ada di dalam abu merang. Tujuannya agar kain mori menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih tinggi;
- Nyorek atau Memola, adalah proses menjiplak atau membuat pola di atas kain mori. Proses ini biasa juga disebut ngeblat. Biasanya, pola dibuat terlebih dahulu di atas kertas roti atau kertas kalkir, baru kemudian dijiplakkan ke atas kain mori. Proses ngeblat bisa dilakukan secara langsung di atas kain, atau menjiplaknya dengan menggunakan pensil atau canting. Supaya proses pewarnaan bisa berhasil dengan baik, tidak pecah dan sempurna, proses batikannya perlu diulangi pada sisi kain di baliknya, proses itu disebut ganggang;
- Mbathik, yaitu menorehkan lilin cair ke kain mori. Proses ini dimulai dengan nglowong (menggambar garis-garis di luar pola) dan isen-isen (mengisi pola dengan berbagai macam bentuk).di dalam proses isen-isen terdapat istilah nyecek, yaitu membuat isian dalam pola yang sudah dibuat dengan cara memberi titik-titik (nitik). Ada pula istilah nruntum, yang hampir sama dengan isen-isen, tetapi lebih rumit;
- Nembok, yaitu proses menutupi bagian-bagian yang tidak boleh terkena warna dasar, dalam hal ini adalah warna biru, dengan menggunakan malam. Bagian kain yang tidak boleh terkena pewarnaan warna dasar harus ditutupi dengan lapisan malam yang tebal, sehingga seolah-olah merupakan tembok penahan;
- Medel, yaitu proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke dalam cairan warna secara berulang-ulang, sehingga mendapatkan warna yang diinginkan;
- Ngerok dan Mbirah, yaitu proses pengerokan lapisan lilin yang terdapat pada kain dengan menggunakan lempengan logam, proses pengerokan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, kemudian kain dibilas dengan menggunakan air bersih dan kemudian diangin-anginkan hingga kering;
- Mbironi, yaitu menutupi warna biru dan isen-isen pola yang berupa cecek atau titik dengan menggunakan malam. Selain itu ada juga proses ngrining, yaitu proses pengisi bagian yang belum diwarnai dengan motif tertentu. Biasanya, proses ngrining dilakukan setelah proses pewarnaan;
- Menyoga, berasal dari kata “soga” yaitu sejenis kayu yang digunakan untuk mendapatkan warna coklat. Adapun caranya adalah dengan mencelupkan kain ke dalam campuran warna coklat tersebut;
- Nglorod, merupakan proses terakhir dari rangkaian prose pembuatan batik tulis ataupun batik cap yang menggunakan perintang warna (malam). Pada proses ini, kain batik yang sudah selesai diberi warna dan malam kemudian direbus di dalam air mendidih untuk menghilangkan malam (lilin) yang menempel di kain batik tersebut. Kain kemudian dibilas dengan air bersih dan diangin-anginkan.
Oh iya, untuk membatik ada peralatan khusus yang tidak boleh dilupakan, yaitu canting. Canting yang digunakan untuk membatik ada bermacam-macam sebagai berikut:
1. Berdasarkan fungsinya:
- Canting Reng-rengan, digunakan untuk membatik motif reng-rengan (ngrengrengan), yaitu batikan pertama yang dilakukan sesuai dengan pola. Proses ini disebut Ngrengreng. Arti dari reng-reng adalah kerangka. Canting reng-rengan bercucuk sedang dan tunggal;
- Canting Isen, yaitu canting yang digunakan untuk membatik isian bidang sesuai pola. Canting isen bercucuk kecil, baik tunggal maupun rangkap.
2. Berdasarkan cucuknya:
- Canting carat (cucuk) kecil;
- Canting carat (cucuk) sedang;
- Canting carat (cucuk) besar.
3. Berdasarkan banyaknya carat (cucuk):
- Canting Cecekan, bercucuk satu (tunggal), kecil, dipergunakan untuk membuat titik-titik kecil (Jawa: cecek). Proses membuat cecek disebut nyeceki. Canting cecekan ini juga biasa digunakan untuk membuat garis-garis kecil;
- Canting Loron, loron berasal dari kata “loro” yang berarti dua. Canting ini bercucuk dua, berjajar atas dan bawah, dipergunakan untuk membuat garis rangkap;
- Canting Telon, telon berasal dari kata “telu” yang berarti tiga. Canting ini bercucuk tiga dengan susunan berbentuk segitiga. Apabila canting telon dipergunakan untuk membatik, maka akan terlihat bekas segitiga yang dibentuk oleh 3 buah titik, sebagai pengisi;
- Canting Prapatan, canting ini bercucuk empat, dipergunakan untuk membuat 4 buah titik yang berbentuk bujur sangkar sebagai pengisi bidang;
- Canting Liman, bercucuk lima, dipergunakan untuk membuat bujur sangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah titik dengan sebuah titik di tengahnya;
- Canting Byok, yaitu canting bercucuk 7, sering digunakan untuk membentuk lingkaran kecil yang terdiri dari titik-titik;
- Canting Renteng atau Galaran, kata “galaran” berasal dari kata “galar” yang berarti suatu alat dari bambu yang dicacah membujur. Renteng adalah rangkaian sesuatu yang berbaris berjejer. Canting Renteng dan Galaran selalu bercucuk genap, 4 atau lebih, yang paling umum adalah bercucuk 6, tersusun dari bawah ke atas.
(Sumber: Singgih27, FB Akhir Pekan di Museum)
bagian-bagian dari canting, courtesy by Akhir Pekan di Museum |
macam-macam canting, courtesy by Akhir Pekan di Museum |
penjelasan tentang bagian-bagian dari canting |
Berbicara tentang membatik, sebuah kegiatan yang erat melekat dengan sosok seorang wanita Jawa, dongeng pagi itu berujung pada sosok R. A. Kartini. Perempuan Jawa yang menjadi tokoh emansipasi wanita dengan pemikirannya yang dituangkan ke dalam ke dalam surat-suratnya dalam Bahasa belanda yang dikirimkan kepada temannya, Rosa Abendanon. Yang di kemudian hari, surat-suratnya itu dibukukan oleh J. H. Abendanon dengan judul “Door Duisternis Tot Licht”. Di tahun 1922, buku tersebut diterjemahkan oleh Armijn Pane ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran”.
batik Kartini |
penjelasan tentang Batik Kartini |
Batik Kartini dan penjelasannya |
Di penghujung pertunjukan, diceritakan kebiasaan Kartini membatik bersama kedua saudara perempuannya yaitu Roekmini dan Kardinah. Batik itu pun dikenal dengan nama Batik Kartini. Batik bermotif bunga kecil-kecil (buketan) dengan warna dasar coklat muda ini terkenal sampai ke penjuru dunia. Hal itu bermula dari kebiasaan Kartini mengirimkan hasil karyanya kepada teman-temannya yang berada di luar negeri, khususnya Belanda.
dan lonceng pun berdentang tanda pertunjukan telah selesai |
Pertunjukan Pentas Dongeng di pagi hari itu pun diakhiri dengan berdentangnya suara lonceng. Dan selanjutnya, seluruh pendukung Pentas Dongeng pada hari itu pun berjejer manis di depan saya dan seluruh penonton. Pertunjukan berdurasi 30 menit itu pun ditutup. Dan saya mengakhiri kunjungan di Museum Nasional pada hari itu dengan berkeliling ke “Thai Room” yang ada di sisi kiri dari Museum Nasional. Di situ dipamerkan berbagai macam jenis batik dan tenun tradisional Indonesia. Dan situ juga saya bisa melihat secara langsung Batik Kartini yang terkenal itu.
antusias penonton yang menyaksikan Pentas Dongeng “Habis Gelap Terbitlah Terang” |
standing applause untuk tim Teater Koma yang telah berbagi ilmu mengenai batik & Kartini |
Catatan:
- Dingklik: bangku kayu kecil, biasanya digunakan untuk duduk para pembatik;
- Malam: lilin yang digunakan untuk membatik, sebelum digunakan lilin harus dimasak hingga mencair;
- Gawangan: rangka kayu yang digunakan untuk menggantung kain mori pada saat membatik;
- Anglo: tungku yang terbuat dari tanah liat, sebagai kompor untuk memanaskan wajan berisi malam cair;
- Wajan: wadah untuk mencairkan malam yang diletakkan di atas anglo;
- Canting: alat untuk membatik;
- Kain mori: kain yang digunakan sebagai bahan dasar sebuah kain batik.
Apa batik asli jawa ya tidak ada si pulau2 lain di nusantara
Hai Samsul.
So far I know, di setiap daerah ada kain tradisionalnya, namun berbeda dari daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Di daerah lain (di luar Jawa) juga ada batik kok, dengan motif yang sangat khas.