Selamat pagi!
Alarm di handphone saya belum berbunyi ketika mata saya terbuka pagi itu. Ternyata, rasa penasaran dan keinginan untuk segera tiba di Pasar Papringan menjadi alarm yang lebih jitu untuk membuat badan saya lebih cepat merespons dan bersiap. Pukul 05.30 wib saya dan Imel telah siap di depan Omah Yudhi untuk berangkat ke Pasar Papringan. Mungkin ada yang bertanya, kenapa harus pagi-pagi berangkatnya? Sebagai informasi, Pasar Papringan itu mulai buka pukul 6 pagi, dan…. banyak pengunjung yang sudah bersiap di sekitar area Pasar Papringan sebelum pukul 6. Bahkan pada hari pasaran yang terakhir, Pasar Papringan terpaksa harus tutup sebelum waktunya karena seluruh dagangan yang ada telah habis terjual!
Jarak Pasar Papringan dari Omah Yudhi sekitar 7.8 km atau sekitar 19 menit berkendara. Dan pagi itu, dengan menumpang sebuah angkot, saya dan Imel bersama dengan teman sekamar dan mbak Meida akhirnya berangkat ke Pasar Papringan. Oh iya, di Kandangan yang disebut angkot terkadang berupa mobil penumpang biasa yang difungsikan sebagai angkutan umum. Seperti pagi itu, angkot yang menjemput saya ternyata sebuah mobil Avanza. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 100.000 untuk sekali jalan. Karena pagi itu saya berempat berangkatnya, artinya biaya transport ke Pasar Papringan hanya Rp 25.000 per orang! Cukup murah. Oh iya, selain menggunakan angkot atau kendaraan roda 4, untuk mencapai Pasar Papringan juga bisa menggunakan ojek motor dengan biaya sekitar Rp 20.000 hingga Rp 50.000 tergantung kesepakatan tawar-menawar dengan rider-nya.
Matahari terbit masih terlihat bagaikan bola emas besar berwarna jingga kemerahan yang mulai menggeliat di atas cakrawala, sawah dan pepohonan terlihat sangat hijau dengan daun yang masih basah oleh embun, langit bahkan masih menyisakan kabutnya ketika mobil yang saya tumpangi mulai meninggalkan halaman Omah Yudhi. Menikmati perjalanan menuju Pasar Papringan, saya membiarkan jendela mobil terbuka dan udara yang masih menyisakan sedikit dinginnya menyeruak masuk ke dalam paru-paru. Desa Kandangan sudah terlihat mulai ramai dan memulai aktivitasnya pagi itu. Kendaraan lalu lalang, baik roda 2 maupun roda 4. Ketika mobil yang saya tumpangi mulai memasuki Desa Ngadimulyo, mulai terlihat iring-iringan antrian mobil yang berjalan pelan memasuki Kawasan Dusun Ngadiprono. Ternyata cerita tentang uniknya Pasar Papringan ini sudah sangat booming di seantero Indonesia. Terbukti dengan padatnya kendaraan yang dengan sabarnya antri untuk memasuki jalanan Dusun Ngadiprono, penuhnya parkiran yang telah disediakan, bahkan untuk mengantisipasi kemacetan, telah dilakukan pemisahan jalan masuk dan jalan keluar dari Dusun Ngadiprono agar kendaraan tidak bertemu dan stuck pada titik yang sama.
Beruntung saya menggunakan kendaraan umum, sehingga tidak perlu pusing mencari area parkir yang kosong. Setelah tiba di dekat pintu masuk Pasar Papringan, saya dan teman-teman segera turun dan membaur dengan masyarakat dan pengunjung yang telah ramai di lokasi pasaran. Berjalan sekitar beberapa puluh meter dari jalanan kecil tempat saya turun dari kendaraan, saya tiba di pintu masuk Pasar Papringan. Di sisi kanan pintu masuk terlihat meja tempat menukar uang pring. Ada 3 bagian untuk penukaran uang, yaitu 1) kelipatan Rp 10.000, 2) kelipatan Rp 20.000 dan 3) kelipatan Rp 50.000. Karena pengunjung belum terlalu banyak, saya dan Imel memutuskan untuk menambah koleksi uang pring yang telah kami dapat dari Omah Yudhi sebelumnya. Saya menukarkan Rp 40.000 dan mendapatkan 20 keping uang pring. Cukup lah untuk icip-icip jajanan kampung nan unik di sini.

Melihat beraneka macam jajanan yang dijajakan di sini, mata saya terbuka lebar. Banyak sekali jajanan yang mengingatkan saya pada masa kecil dan pada almarhum simbah di rumah, yang dulu sangat rajin membuat anek jajan pasar untuk cucunya ini.
Suasana Pasar Papringan saat saya tiba belum terlalu padat, namun sudah cukup ramai. Antrian di meja penukaran uang pring pun belum terlalu panjang mengular. Dan saya masih bisa dengan leluasa berkeliling menghampiri beberapa meja pedagang untuk melihat dan membeli aneka penganan di sana. Namun tidak sampai 1 jam kemudian, terlihat antrian yang sangat panjang di meja penukaran uang pring, serta semakin padatnya pengunjung yang lalu-lalang dan antri di setiap meja pedagang. Saat berpapasan dengan sesama pengunjung, terdengar beberapa logat yang tidak asing bagi saya, ada yang berlogat Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya bahkan Makasar! Luar biasa! Ternyata pengunjung Pasar Papringan ini bukan hanya berasal dari masyarakat sekitar Temanggung atau Magelang, namun ada juga yang datang dari luar pulau!
Saya mencoba untuk mendatangi setiap pedagang dan melihat penganan apa saja yang dijajakan di sana. Oh iya, karena di Pasar Papringan ini tidak menggunakan kemasan plastik atau styrofoam, saat memasuki area pasar, yang pertama saya cari adalah penjual keranjang bambu. Dengan harga 2 keping uang pring (1 keping uang pring = Rp 2.000) saya telah mendapatkan sebuah keranjang bambuyang cukup sebagai wadah belanjaan nantinya. Setelah membeli keranjang, saya mulai berkeliling. Melihat pedangan yang menjual aneka penganan kecil, wajik, clorot, gemblong, klepon, pisang goreng, kroket, getuk, dan lain-lain. Di area yang lain terlihat pedagang sego kuning, sego begana, sego ireng, sego abang, sego rames, dan sejenisnya. Tidak ketinggalan aneka minuman tradisional seperti dawet ireng, dawet anget dan jenang, kolak kimpul, kacang ijo, kolak pisang, wedang ronde dan lain sebagainya.
Untuk menambah suasana desa dan tradisionalnya, seluruh pedagang yang ada di area Pasar Papringan menggunakan busana yang terbuat dari kain lurik. Jadi begitu memasuki area pasar, saya merasa seolah-olah ditarik oleh mesin waktu kembali ke masa kecil, menikmati suasana pasar yang berada di bawah rerumpunan bambu, pedagang dengan baju luriknya, serta keping uang pring-nya.

Karena pengunjung yang bertambah ramai dan padat, saya memutuskan untuk membeli beberapa jajanan dan membungkusnya. Jajanan yang saya beli dibungkus rapi menggunakan daun pisang oleh pedagang, yang kemudian saya bawa di dalam keranjang bambuyang telah saya beli di saat tiba di Pasar Papringan tadi. Di salah satu sudut pasar, saya mendapati beberapa pedagang bahan keperluan dapur seperti cabai, tomat dan aneka sayur-mayur. Segarnya sayuran dan buah yang dijual di sana sempat membuat saya tergoda untuk membelinya. Namun saya ingat bahwa perjalanan kembali ke Jakarta membutuhkan waktu yang cukup lama, dan tidak mungkin sayuran itu akan tetap segar selama di perjalanan. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa pulang fotonya saja 😀
Di dekat pintu keluar, saya melihat ada beberapa pedagang ternak. Ternak yang diperdagangkan antara lain Kelinci, Ayam dan Hamster (Hamster termasuk ternak atau bukan ya?). Namun jumlahnya tidaklah banyak. Ada juga sekelompok bapak-bapak yang memainkan gamelan lengkap dengan seragamnya yang sangat nJawani, membuat saya betah berlama-lama mendengarkan dan memvideokan alunan musik yang sedang mereka mainkan.

Di salah satu sudut yang lain, terlihat sekelompok orang yang berpakaian unik bak penari tradisional, Turonggo Bakti Manunggal (TBM) dari Dusun Ngadidono. Ini semacam kelompok kebudayaan tradisional dari Dusun Ngadidono. Keunikan pakaian dan dandanan yang mereka kenakan menarik minat pengunjung untuk meminta foto bersama. Di sini, untuk berfoto bersama tokoh yang menggunakan pakaian dan tata rias yang unik dikenakan biaya sebesar 2 pring. Saat saya sedang mengamati kelompok Turonggo Bakti Manunggal ini, mbak Meida ternyata sedang bersama teman-teman tuna wicara. Dan saya akhirnya berkenalan dengan Putri, salah seorang penyandang tuna wicara yang dengan senang hati mengajari saya untuk memahami abjad yang biasa mereka gunakan untuk berkomunikasi. Dari Putri, saya belajar memvisualisasikan abjad yang biasa kita tulis ke dalam bentuk khusus menggunakan tangan dan jari. Dan setelah sedikit menghapal, saya berhasil mengenalkan nama saya menggunakan abjad khusus itu. Terima kasih Putri, tetap semangat ya… next time kalau kita ketemu lagi, jangan lupa untuk mengajari saya berbahasa isyarat, agar cerita-cerita kita semakin seru!

Karena pengunjung semakin padat, akhirnya saya dan Imel memutuskan untuk pulang ke Omah Yudhi dan membuka hasil belanjaan di Pasar Papringan. Saya dan Imel, diantar mbak Meida akhirnya meninggalkan lokasi pasar menuju pintu keluar. Dari situ kami menunggu ojek yang nantinya akan mengantarkan kami pulang ke homestay. Karena ojek yang ditunggu tidak juga datang, saya akhirnya nebeng dengan temannya mbak Meida, mas Irul untuk pulang ke Omah Yudhi.
Perjalanan pulang ini memakan waktu yang lebih lama daripada saat pergi, karena padatnya kendaraan yang masih ingin masuk ke area Pasar Papringan. Bahkan saking padatnya, untuk kendaraan roda 2 saja sangat susah bergeraknya. Setelah kurang lebih 1 jam berjibaku dengan macet dan padatnya kendaraan yang akan masuk dan keluar area Pasar Papringan, saya pun tiba di Omah Yudhi. Terima kasih banyak mas Irul….
Sesampainya di Omah Yudhi, yang pertama-tama dilakukan adalah…… mari membuka hasil jajan di Pasar Papringan! Saya dan Imel saling menunjukkan, beli apa saja di pasar tadi. Dari dalam keranjang saya mengeluarkan sebungkus nasi kuning lengkap dengan orek tempe, kentang balado, dan telur dadar tipis, beberapa kue clorot/pasung, klepon, wajik, cucur, serta aneka gorengan. Imel pun menunjukkan isi keranjangnya serta beberapa penganan kecil yang dibeli dari Pasar Papringan tadi. Dan jadilah di pagi menjelang siang itu, kami duduk di kolong kamar sambil menikmati aneka jajanan sambil merasakan semilir angin dan gemerisik batang padi serta pepohonan yang ada di depan homestay.
Rasa penasaran itu telah menemukan jawabannya. Ternyata Pasar Papringan memang sangat menarik. Berinteraksi dengan pedagang dan masyarakat sekitar serta pengunjung yang berasal dari berbagai daerah, mencoba aneka jajanan kampung yang saat ini sudah sangat jarang ditemui, mendengarkan alunan gamelan yang mengingatkan akan dongeng dari simbah putri dan simbah kakung di masa kanak-kanak, melihat para pedagang yang berpakaian lurik yang unik, serta berbelanja dengan menggunakan keping uang pring mengingatkan saya pada masa kecil, saat main masak-masakan dan saling jualan dengan teman-teman 😀
Ini ada beberapa informasi yang mungkin bisa digunakan apabila teman-teman ingin mengunjungi Pasar Papringan:
-
- Pasar Papringan HANYA BUKA pada hari pasar Minggu PON dan Minggu WAGE;
- Untuk menginap di Omah Yudhi, bisa menghubungi mbak Meida di nomor HP 085743263443 (sebaiknya lakukan reservasi jauh-jauh hari untuk menghindari full booked-nya Omah Yudhi, karena banyak banget yang ingin menginap di sana;
- Untuk transportasi dari Magelang ke Kandangan (Temanggung), bisa menggunakan bus (namun hanya sampai di halaman balai desa saja), GRAB (dari Magelang sangat mudah mendapatkan armada, namun dari Kandangan sebaliknya), atau menggunakan mobil sewaan. Untuk mobil sewaan ini rekomendasi saya, mas Ahmad – 085741825036;
- Jangan lupa untuk membawa botol minum sendiri, karena di Pasar Papringan tidak menjual air minum berkemasan plastik.