Hari telah sore ketika saya tiba di Omah Yudhi, tempat saya bermalam sebelum mengunjungi tujuan utama saya di Temanggung, Pasar Papringan. Ya, karena penasaran dengan Pasar Papringan yang begitu hype di dunia maya, akhirnya saya memutuskan untuk melihat sendiri seperti apa dan ada apa saja di sana? Omah Yudhi ini lokasinya persis di seberang Pasar Kandangan, di belakang sebuah kantor KSSP Anugrah, Krajan 1 RT 2 RW 7, Desa Kandangan, Temanggung.
Persiapan kilat dimulai dari mencari tiket kereta, penginapan serta informasi yang memadai tentang transportasi dan printilan lainnya untuk mencapai Pasar Papringan. Untuk penginapannya, dari hasil browsing di Internet, saya menemukan akun Instagram Pasar Papringan dan contact person dari mbak Meida. Setelah bertanya via WA, akhirnya saya memutuskan untuk menginap di Omah Yudhi.
Perjalanan panjang saya dimulai dari hari Jumat malam ketika kereta tujuan Yogyakarta mulai bergerak meninggalkan Jakarta. Memerlukan waktu sekitar 8 jam ketika akhirnya pluit kereta berbunyi panjang dan kereta perlahan melambat hingga berhenti sempurna. Yogyakarta! Setibanya di Yogyakarta, saya langsung menuju counter Damri yang terletak di sisi kiri sebelum mencapai pintu keluar. Tujuan saya selanjutnya adalah kota Magelang. Harga tiket bus Damri dari Yogyakarta ke Magelang adalah Rp 55.000. Tepat pukul 6 bus Damri yang saya tumpangi mulai meninggalkan kota Yogyakarta menuju Magelang. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 1 jam lebih sedikit. Setibanya di Magelang, perjalanan saya lanjutkan dengan mobil sewaan karena sana dan Imel berencana untuk sedikit mengeksplor Magelang sebelum menuju Temanggung. Cerita tentang kota Magelang dan apa saja yang saya kunjungi akan saya ceritakan nanti ya… karena kali ini saya ingin bercerita khusus tentang Pasar Papringan.
Dengan mobil sewaan, akhirnya saya tiba di Temanggung, tepatnya di kecamatan Kandangan. Perjalanan panjang dari Jakarta – Magelang – Kandangan membuat tubuh terasa penat dan lengket. Dan ketika tiba di homestay, yang pertama ingin dan harus dilakukan adalah mandi! Wuih… airnya segar! Hilang sudah rasa penat, gerah dan lengket yang seharian ini saya rasakan begitu guyuran air mengenai tubuh. Dan kesegaran itu semakin lengkap karena setelah selesai mandi, sajian makan malam telah tersedia di ruang makan yang juga mengusung konsep rumah kayu yang terbuka.
Sedikit bercerita tentang Omah Yudhi. Omah Yudhi ini dikelola oleh pak Yudhi yang juga merupakan co-founder dari Pasar Papringan. Omah Yudhi merupakan homestay yang terdiri dari rumah-rumah kayu kecil untuk sharing room, dengan konsep kembali ke alam. Maka jangan heran ketika memasuki area Omah Yudhi yang dirasakan adalah suasana hommy, nyaman, kekeluargaan dan kembali ke alam.
Saat saya memutuskan untuk menginap di Omah Yudhi, ternyata hanya tersisa 2 bed share room saja. Dan sesampainya di sana, yang saya dapatkan adalah sebuah rumah kayu kecil berbentuk rumah panggung dengan tangga yang terbuat dari kayu bulat. Setelah menaiki tangga kayu tersebut saya bertemu dengan pintu kaca besar dengan kusen yang juga terbuat dari kayu dan bisa dilipat, yang merupakan pintu utama dari kamar yang akan saya tempati. 2 buah bunk bed di sisi kanan dan kiri pintu terlihat rapi dengan sprei yang terbuat dari kain jarik bermotif batik sogan. Sebuah bantal berwarna putih dan selimut coklat terlihat rapi di masing-masing bed. Lantai kamarnya dilapisi dengan tikar daun pandan yang sudah sangat jarang ditemukan saat ini. Yang istimewa adalah pintu kaca dengan kusen kayu yang serupa dengan pintu utama tadi, mengarah ke balkon yang penuh ditumbuhi dengan tanaman hijau merambat dan berbunga kecil. Saat pintu dibuka, yang terlihat adalah pemandangan sawah dan kebun yang sangat luas. Dari balkon juga bisa dilihat sebuah bangunan kayu besar yang letaknya tepat di depan kamar saya yang difungsikan sebagai ruang makan/ruang keluarga/ruang santai untuk pengunjung. Biaya untuk menginap di Omah Yudhi juga sangat reasonable, yaitu Rp 175.000 per orang per malam dengan fasilitas bunk bed share room, makan malam dan beberapa keping uang bambu yang bisa digunakan untuk berbelanja di Pasar Papringan. Di kolong kamar saya terdapat ruangan terbuka yang difungsikan sebagai mushola dan tempat bersantai.
Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, begitu tiba di Omah Yudhi yang saya lakukan adalah bergegas ke kamar mandi, soalnya udah ga tahan dengan keringat dan rasa lengket setelah seharian berkeliling kota Magelang. Dan sehabis mandi, kami langsung dipersilakan untuk menuju ruang makan karena mbak Asih dan teman-teman di dapur telah menyediakan menu makan malam yang sungguh tidak bisa ditolak. Perut saya yang sudah keroncongan sedari sore akhirnya bersorak gembira ketika hidangan nasi putih hangat, ayam goreng, sayur capcay, tempe goreng dan lalapan terlihat memanggil-manggil dari atas meja makan. Dan perut saya pun mendadak berjoget riang 😀
Di ruang makan, selain saya dan Imel ada beberapa rombongan lain juga yang ternyata memiliki tujuan yang sama, yaitu mengunjungi Pasar Papringan. Di depan saya ada 9 mahasiswa dari sebuah universitas swasta di Jakarta, di sudut ruangan terlihat 1 keluarga kecil dengan 2 anaknya, dan di sudut lain ada 6 orang ibu-ibu penggemar kopi yang sengaja melakukan perjalanan jauh hingga ke Temanggung untuk menjajal bermacam jenis kopi. Asyik ya!
Setelah makan malam, pak Yudhi sebagai pemilik homestay menemui kami dan bercerita sedikit tentang asal mula Pasar Papringan ini. Pasar Papringan ini awalnya berupa usulan dari pak Singgih Susilo Kartono selaku founder, yang menginginkan adanya sebuah pasar tradisional untuk memberdayakan masyarakat desa yang ada di sekitar lokasi pasar. Walaupun awalnya ada penolakan dari masyarakat, namun akhirnya rencana dari pak Singgih bisa berjalan. Lokasi awal Pasar Papringan ada di Dusun Caruban, namun setelah 1 tahun berjalan timbul beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan. Dan akhirnya diambil keputusan untuk memindahkan lokasi pasar. Untuk memindahkan lokasi pasar dibutuhkan waktu sekitar 5 bulan untuk pemetaan awal serta pemilihan lokasi yang memadai.
Hal yang cukup menarik adalah, mengapa lokasi pasar selalu dipilih pada area yang ditumbuhi oleh rumpun Bambu? Ternyata itu adalah salah satu cara dari pak Singgih dan pak Yudhi untuk mengurangi sampah yang dibuang secara sembarangan oleh warga. Sebagaimana yang terjadi di pedesaan, masyarakat terbiasa untuk membuang sampah di bawah pohon Bambu karena gampang tertimbun oleh daun-daun bambu yang berguguran di pagi hari. Pemilihan hutan Bambu sebagai area pasar adalah untuk menimbulkan kesadaran bagi warga sekitar agar tidak lagi membuang sampah sembarangan. Dan memberikan contoh, bahwa area yang tadinya hanya digunakan sebagai tempat menimbun sampah ternyata bisa dimanfaatkan dan digunakan sebagai sumber pemasukan bagi masyarakat di desa sekitar. Kata Papringan sendiri berasal dari kata Pring yang berarti Bambu. Di dalam bahasa Jawa, pohon/rumpun Bambu biasa disebut dengan “wit pring”.
Pasar Papringan yang sekarang berlokasi di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah 56252. Lokasi pasar yang sekarang luasnya sekitar 4 kali lipat dari pasar terdahulu. Masyarakat yang berjualan di Pasar Papringan adalah pedagang musiman, artinya mereka hanya berjualan pada hari di mana Pasar Papringan dibuka, yaitu setiap hari Minggu Pon dan Minggu Wage mulai dari pukul 6 pagi hingga 12 siang. Sehari-hari, masyarakat tersebut tetap menjalankan profesinya masing-masing, misalnya pegawai, pedagang, petani, guru dan lain-lain. Ada sekitar 78 pedagang yang ambil bagian di Pasar Papringan.
Oh iya, untuk berbelanja di Pasar Papringan, pengunjung harus menggunakan uang khusus terbuat dari bambu yang biasa disebut uang pring dengan nilai tukar 1 keping pring = Rp 2.000. Nah, karena saya menginap di Omah Yudhi, dari biaya sebesar Rp 175.000 tadi, saya sudah mendapatkan fasilitas menginap, makan malam serta uang pring sebanyak 12 keping. Lumayan, sudah ada uang untuk jajan besok pagi di Pasar Papringan. Uang pring yang digunakan terbuat dari bambu berbentuk persegi empat panjang dan dicap khusus.
Malam itu pak Yudhi bercerita, ada beberapa temannya yang bercanda karena masih lamanya pelayanan pedagang di Pasar Papringan, contohnya dalam hal membungkus makanan yang dijual. Hal itu disebabkan masyarakat yang berjualan di Pasar Papringan sehari-harinya bukanlah pedagang. Mereka berjualan hanya pada saat hari pasar. Hingga suatu ketika pak Yudhi akhirnya mengadakan sebuah pelatihan untuk hal bungkus-membungkus. Oh iya, di Pasar Papringan ini kita tidak akan menemukan pembungkus makanan yang berasal dari plastik, semuanya dibungkus dengan menggunakan daun Pisang. Konsepnya Go Green banget ya…
Di Pasar Papringan juga tidak akan ditemukan makanan yang mengandung MSG, menggunakan daging/telur ayam broiler, kemasan plastik dan pewarna buatan. Apabila ada penganan yang menggunakan pewarna, maka pewarna yang digunakan dipastikan berasal dari pewarna alami, yaitu pewarna yang berasal dari buah Naga dan daun Suji. Bahkan untuk mencuci peralatan makan/minum pun menggunakan bahan alami, yaitu buah Lerak sebagai sabun. Sehingga limbah dari area pencucian tidak merusak vegetasi di sekitar area pasar. Penataan Pasar Papringan mengikuti tumbuhnya rumpun bambu yang memang sudah ada di sana. Jadi tidak ada rumpun bambu yang ditebang/dibuang. Sehingga di area Pasar Papringan akan ditemukan ada beberapa jarak antara rumpun bambu yang terlihat sempit, namun ada juga yang luas.
Di Pasar Papringan dijajakan beraneka makanan masa lalu, minuman tradisional, permainan anak-anak, gamelan, hewan ternak, kebutuhan dapur, souvenir khas, dan lain-lain.
Rasanya saya sudah tidak sabar untuk segera mengunjungi Pasar Papringan. Dan malam ini, dalam tidur pun ternyata saya sudah terbayang berkeliling di Pasar Papringan.