Pacu Jawi, atau balapan sapi ini merupakan kegiatan tradisional khas Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Layaknya Karapan Sapi di Madura, walaupun sama-sama mempertandingkan sapi yang berlari, namun terdapat beberapa perbedaan, seperti area balapan yang berupa lintasan berlumpur, serta di dalam 1 putaran balapan, hanya ada sepasang sapi yang dikendalikan oleh seorang joki yang akan berlari di lintasan.
Kegiatan ini telah menjadi tradisi bagi penduduk Tanah Datar (terutama kecamatan Sungai Tarab, Pariangan, Lima Kaum dan Rambatan) sejak berabad-abad lalu, biasanya dilakukan untuk merayakan musim panen. Kegiatan Pacu Jawi ini juga biasanya akan diiringi dengan pesta desa (alek nagari) dan budaya yang disebut Alek Pacu Jawi.
Menurut adat yang berlaku, salah satu persyaratan bagi daerah yang akan menjadi penyelenggara adalah terlihatnya Gunung Marapi dengan jelas dari daerah tersebut. Diyakini, gunung yang memiliki tinggi sekitar 2.891 meter ini merupakan asal-muasal orang Minangkabau yang mendiami daerah Sumatera Barat. Masyarakat yang mayoritas merupakan petani kemudian menggunakan lahan persawahan yang telah selesai dipanen untuk dijadikan lintasan balapan, sebelum kemudian kembali ditanami untuk musim berikutnya.
Walaupun dinamakan “balapan”, namun sapi-sapi itu hanya dilepas sepasang tanpa lawan tanding dalam 1 putaran. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya taruhan di dalam pelaksanaan. Setelah sepasang sapi tersebut melintasi lintasan, baru pasangan sapi lainnya disiapkan lagi. Pemenangnya pun tidak ada yang resmi. Biasanya penonton akan melihat dari kecepatan dan kemampuan sapi utk berlari lurus di lintasan. Sapi-sapi yang unggul terkadang bisa ditawarkan dengan harga yang sangat tinggi. Sapi yang diturunkan untuk bertanding biasanya adalah sapi jantan yang berusia sekitar 2 hingga 13 tahun.
Sepasang sapi yang telah dipasangi alat bajak (alat kekang) akan berlari di lintasan berlumpur yang panjangnya bervariasi, antara 60-250 meter dengan kedalaman lumpur mencapai 30 cm. Pertandingan dimulai saat alat bajak/alat kekang yang dipasang sudah menyentuh tanah dan diinjak oleh joki. Joki akan mengendalikan sapi-sapi tersebut dengan cara memegang ekornya. Bahkan terkadang joki akan menggigit ekor dari sapi apabila dirasa larinya kurang kencang. Tali yang terpasang pada sapi-sapi tersebut dibuat longgar sehingga seringkali sapi akan berlari dengan arah dan kecepatan yang berbeda. Di sini lah tugas berat seorang joki yang harus bisa mengendalikan sapi agar bisa berlari dengan kecepatan yang sama dan arah yang lurus, namun harus mempertahankan posisinya agar tidak terjatuh.
Menurut tradisi, kemampuan sapi untuk berlari lurus ini memiliki filosofi bahwa baik itu manusia ataupun makhluk hidup lainnya, yang paling dihargai adalah ‘yang bisa mengikuti jalan yang lurus’ (dalam bahasa Minang disebut ‘luruih’).
Saat ini, kegiatan Pacu Jawi bisa disaksikan hampir di setiap pekan. Namun lokasinya akan berpindah-pindah di beberapa area yang terdapat di Tanah Datar. Saat saya menyaksikan acara Pacu Jawi beberapa waktu yang lalu, saya menyaksikannya di daerah Jorong Tigo Batur Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum. Area lintasannya pun tidaklah terlalu panjang, hanya sepetak sawah yang telah selesai dipanen dan dibiarkan berlumpur. Karena saat ini acara Pacu Jawi sudah dikenal luas, maka pengunjung yang datang pun cukup banyak, bahkan saya bertemu dengan beberapa turis mancanegara yang juga ikut menyaksikan.
Belum pernah menyaksikan Pacu Jawi? Coba deh lihat langsung, dijamin seru!!