Setelah beberapa waktu yang lalu saya sempat posting cerita mengenai Trowulan dan Mojokerto, kali ini saya ingin sharing cerita mengenai Gunung Kelud. Masih dalam rangkaian marathon trip keliling Trowulan – Mojokerto – Bromo – Sempu – Madakaripura, sore itu perjalanan kami lanjutkan menuju Gunung Kelud. Gunung ini merupakan gunung berapi aktif yang berada di perbatasan Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, dengan jarak kira-kira sekitar 27 km sebelah timur dari pusat Kota Kediri.
Saat kami tiba di sekitar lokasi Gunung Kelud, hari sudah menjelang sore. Parkiran kendaraan sudah mulai sepi, hanya tertinggal 2 mobil berukuran sedang. Oh iya, jalanan menuju Gunung Kelud cenderung menanjak. Jalanan beraspal mulus yang bisa dilalui 2 kendaraan roda 4 berpapasan itu dikelilingi tanaman perdu di kiri dan kanannya. Kira-kira di setengah perjalanan, akan ada 1 area yang sedikit menyimpan “misteri”. Kenapa dibilang menyimpan “misteri”, karena di area tersebut, kendaraan bisa berjalan tanpa harus kita menekan gas. Bisa dibayangkan, dengan kondisi jalan yang menanjak, kendaraan dalam posisi normal, bisa berjalan sendiri tanpa perlu menekan gas.
Saya mendapat cerita itu dari driver mobil yang saya tumpangi. Begitu mendekati area tersebut, driver kami langsung memberitahu. Dan di sebelah kiri jalan saya membaca sebuah papan pemberitahuan berwarna merah cerah yang bertuliskan “Jalan Misteri”.
Dan benar saja, begitu melihat papan pemberitahuan tersebut, driver pun segera mematikan mesin mobil. Sungguh ajaib, walaupun mesin mobil dalam keadaan mati, namun mobil kami bergerak mengikuti jalanan yang menanjak. Kondisi ini terus berlangsung selama kurang lebih 5 menit sampai kami melihat lagi papan merah bertuliskan “Jalan Misteri” di sisi yang berbeda.
Wah…. pengalaman pertama saya mengalami hal ini. Tapi ternyata, di mobil yang saya tumpangi ini tidak semua teman ngeh dengan kejadian tadi. Kami ber-11 di dalam mobil, yang ngeh mungkin hanya saya + 2 orang teman saya yang duduk di depan. Ah, ruginya teman-teman yang tidak menyadari fenomena tadi.
Dari parkiran kendaraan, kami harus melewati sebuah terowongan untuk tiba di area Gunung Kelud. Sore itu, terowongannya sepi…….. hanya ada kami dan sekeluarga pengunjung yang melintasinya. Kondisi terowongan yang temaram karena kurangnya sarana penerangan, bikin suasana sedikit spooky (dikit aja sih, beneran deh. Yang banyakan justru riuhnya kami :D).
Sampai di ujung terowongan, udara terasa segar. Gunung Kelud tampak di kejauhan seperti tumpukan batu yang menggunung tinggi. Kami berjalan menuju Gardu Pandang yang terletak di atas bukit. Untuk mencapainya, kami harus melewati berpuluh-puluh anak tangga yang lumayan curam (kalau tidak salah 600 anak tangga), yang tentunya sukses membuat saya dan teman-teman ngos-ngosan untuk mencapai puncaknya. Di kiri dan kanan tangga beton tersebut tumbuh ilalang-ilalang liar.
Menaiki anak tangga yang segitu banyak, saya tidak berani forsir. Naik pelan-pelan, kalau capek ya saya berhenti dulu, foto-foto deh 😀
Setelah menaiki ratusan anak tangga itu, akhirnya sampai lah saya dan teman-teman di Gardu Pandang yang menjadi pusat pengamatan Gunung Kelud dan anak Gunung Kelud. Kami tiba di Gardu Pandang bertepatan dengan sunset yang mulai menguning di ujung Barat. Angin yang bertiup perlahan membuat ingin berlama-lama menikmati bola emas raksasa yang semakin lama semakin menghilang di ujung cakrawala.
Namun karena hari semakin gelap, akhirnya kami pun bergegas untuk turun (dan lagi-lagi harus menyiapkan betis dan dengkul untuk berjuang menuruni 600 anak tangga). Ternyata, turun lebih serem daripada waktu naik tadi. Dari atas, tangganya terlihat sangat curam, jadi harus ekstra hati-hati. Harus pegangan kanan kiri, plus menjaga keseimbangan badan dan pijakan kaki.
Sampai di bawah, kami kemudian berjalan menuju terowongan untuk kembali ke parkiran. Keluar dari parkiran, hari sudah semakin gelap walaupun belum malam. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk sekalian mencoba sumber air panas yang ada di sebelah kiri jalan. Tapi, lagi-lagi kami harus menjumpai ratusan anak tangga (kali ini jumlah anak tangganya justru lebih banyak dari jumlah anak tangga menuju Gardu Pandang) #eluseluslutut
Sampai di bawah (akhirnya…….) saya pun segera membuka sepatu dan mencoba merendam kaki yang sudah sangat lelah ini ke dalam kolam air panas alami. Enaaaaaaaaaaaaakkkkk….. Kakinya seperti dipijit-pijit.
Merendam kaki sampai betis, merasakan sensasi pijitannya ternyata sedikit menghilangkan rasa penat di kaki yang sudah digunakan berkeliling seharian ini. Kalau saja tidak memikirkan hari yang semakin gelap, mungkin berendamnya bakal sampai leher deh 😀
Nah, waktu mau naik dan liat anak tangga yang jumlahnya bejibun itu, lutut saya lemes lagi 😀 hihihihihihi…. Kebayang capeknya… Huft, perjuangan banget ini mau naik dan jalan ke parkiran. Rasanya kakinya jadi beraaaaaaaaattttt…… banget! Saya sampai harus memaksa kaki dan badan dengan cara menarik badan sambil berpegangan pada besi yang menjadi pembatas anak tangga. Memaksa kaki untuk terus menapaki anak tangga satu demi satu. Hiks….. capeknyaaaaa………
Dan akhirnya…. Setelah memaksa kaki dan badan hampir 1 jam, saya pun akhirnya sampai di parkiran, dan…… diketawain dong dengan teman-teman yang lain. Ya gimana ga diketawain, kami tiba di parkiran dengan baju basah oleh keringat dan wajah mengkilat + merah 😀 huft….
Setelah sejenak mengeringkan keringat, kami pun kembali menaiki kendaraan dan melanjutkan perjalanan menuju Sendang Biru, sebelum menyeberang ke Pulau Sempu keesokan harinya. Dan karena kelelahan, saya pun memutuskan untuk istirahat dan tidur sepanjang perjalanan menuju Pantai Sendang Biru. Bye bye semua….. istirahat dulu ya… besok kita sambung lagi ceritanya di Sendang Biru…………. zzzzzzzzzzzzz
Hehehehe ceritanya bersambung ya, jadilah sepotong sepotong, bikin penasaran.aku malah belum mulai nulis nya… Belum sempet, baru buat draf draf doangan….
iya dong, dikit-dikit aja… biar penasaran :p
draft Baduy gw ilang euy….. hiks 🙁
harus mengingat lewat foto-foto doang….