Menjenguk Ujung Barat Indonesia #1 – Ngider di Banda Aceh
by
Evy Priliana Susanti
Posted on
Hai… hai… long time no see 😀
Apa kabar? Baik dong ya…
Gw mo share cerita nih… sekalian pamer klo udah sampe di ujung barat Indonesia tercinta ini… hehehehe…
Iya… gw udah sampe dong ke titik Nol km di Sabang, Pulau Weh, yeaaaayyyyy!!!
Dan beneran, Indonesia itu indah……….. banget!
Ya… walaupun gw baru nyampe di ujung baratnya, but so far i’ve seen, nothing else more beautiful than my Indonesia #gajadiahnyarisuakakenegaralaen 😀
Yuk ah, cekidot hasil keliling-keliling gw di propinsi paling barat di Indonesia.
Let’s go!
Kamis, 24 Oktober 2013
05.00 wib
Jam segini, gw udah duduk-duduk manis di lounge bandara Soetta. Udah beres check-in, tinggal nunggu boarding, and…….. let me fly……
Nungguin boarding jam 06.20 wib, masih lama ya?
Liat kanan kiri, mayoritas orang-orang yang ada di ruang tunggu ini sibuk dengan gadget-nya. Trus? Gw juga mau sibuk dengan gadget gitu? Kayak robot ajah….
Ceki-ceki ada apa ya di tas gw???
Ok, cek lagi itinerary selama di Aceh, hmm…. mending gw liat-liat lagi deh rute solo tripnya, biar semua bisa didatangin.
yang ini modal ngebolang ke ujung barat Indonesia
perlengkapan ngebolang ke ujung barat Indonesia
Oh iya, sebenarnya kali ini pun trip gw barengan dengan beberapa teman yang tergabung di trip organizer yang gw ga mau sebutin namanya karena udah ngecewain banget pelayanannya. Ga lagi-lagi ikutan trip organizer ini.
Honestly, gw akhirnya memutuskan untuk join setelah dibujukin dengan teman-teman yang dulu pernah barengan trip ke Padang. Timbang sana, timbang sini, mikirnya pake lama…….. akhirnya mutusin ikut, tapi dengan catatan, gw ketemu rombongan di Banda Aceh aja, karena gw berangkatnya duluan. Dan entah itu kebetulan atau emang rejeki gw, beberapa bulan sebelum berangkat, tiba-tiba teman SMP gw kudu pindah dari Palembang ke Banda Aceh! What a miracle???
Udah susun rencana kalo gw akan mengunjunginya waktu masih stay di Palembang, ternyata terkabulnya bisa ketemu justru setelah dia pindah ke Banda Aceh.
Big thanks to Shinta, yang udah bersedia nampung gw, nyediain kamar yang bisa gw inapin semalam di Banda Aceh – bikin gw ngerasa homy, nyediain makan siang dan sarapan yang yummy banget, nasgornya jagoan Ta! Plus nganterin gw keliling-keliling Kota Banda Aceh dan mengunjungi beberapa situs yang selama ini cuma bisa gw liat saat berselancar di dunia maya. Eh iya, juga nraktir gw mie Aceh Razali (that’s for the first time-nya gw nyobain yang namanya mie Aceh, dan akhirnya bikin ketagihan :D), trus ngajakin gw hangout ke Cafe Mama, tempat gaulnya Kota Banda Aceh, hehehehe….
Okay, ceritanya gw lanjutin ya….
Jam 06.15 wib gw boarding, naek burung terbang yang sayapnya bengkok euy…. hihihihihi….
Jam 06.30 teng, si burung besi mulai pelan-pelan menapaki runway, makin lama makin kencang, dan akhirnya… wuuuusssssss………..I’m fly……..
Bye bye Jakarta………
nonton di sini…..
mari sarapan yang mengenyangkan….. sluuurrrrpppp….
Penerbangan Jakarta-Banda Aceh memakan waktu kurang lebih 4 jam 15 menit. Lama yaaaa…..
Wokeh, mari kita coba nikmatin perjalanan panjang ini.
Eh iya, karena ini penerbangan panjang, ternyata di masing-masing seat udah tersedia layanan multimedianya bo…. hihihihihhi… gw norak 😀
Ayo kita coba, ada apa ajah?
Ceki-ceki menunya, hmm… ada film The Heat!
Mari nonton…. sambil ngemil omelet… slurp….
Dan ternyata, blom juga setengah film, gw udah sukses bobok cantik dong 😀
Bangunnya karena denger pengumuman klo pesawat mo transit di Kualanamu.
Wuuiihhh…… gw udah sampe Medan!
nebeng parkir bentar di Kualanamu Airport
Sebenarnya pesawat akan transit selama 30 menit untuk isi bahan bakar dan naikin penumpang, untuk penumpang yang transit kayak gw, dipersilakan untuk nunggu di lounge. Tapi…… gw males euy turun naik pesawat lagi. Ya udah, gw nunggu di dalam pesawat aja lah.
Gw liat, waktu transit itu, penumpang yang transit mungkin hanya sekitar 5 orang. Padahal waktu berangkat dari Jakarta, ini pesawat full lho….
Ternyata sebagian besar (mostly malah) mereka penumpang dengan tujuan Medan.
Udah transit 30 menit, pesawat udah isi bahan bakar, penumpang dari Medan juga udah naek (ga banyak juga ternyata, buktinya banyak seat yang kosong), si burung besi pun kembali terbang……
Nah…. dari Medan ke Banda aceh ternyata ga lama, cuma sekitar 30 menit.
Baru juga gw rencana mo merem lagi, udah ada pengumuman klo pesawat mo mendarat 😀
Yeay…….. Banda Aceh, here i am!
Pertama-tama, sms ke Shinta, ngasi tau kalo udah sampe di Banda Aceh.
Trus…. mari kita cari taxi.
Nanya dengan petugas bandara, eh….. malah ditelponin taxi sama si bapak, katanya itu sodara dia. Makasih banyak ya pak untuk bantuannya ^.^
Oh iya, di Banda Aceh, ga ada taxi resmi seperti di Jakarta. Adanya taxi berupa mobil-mobil pribadi. Jadi jangan heran kalo liat yang disebut taxi di Banda Aceh adalah mobil-mobil jenis Avanza, Xenia, Innova dan teman-temannya.
Gw dapet taxi kenalan si bapak petugas bandara, Avanza silver. Driver-nya namanya Bang Taufik.
Fyi, untuk tarif taxi dari bandara ke pusat kota adalah 80 ribu. Itu standarnya.
Okey….. mari kita ke Jalan Teuku Umar, “Shinta, jemput di depan kompleks yaaaa”.
Yang gw suka di Banda Aceh, jalanannya ga macet! 😀
Jadi perjalanan dari bandara ke pusat kota, lancar jaya.
Taxi silver ini mulai bergerak di atas hitamnya aspal Kota Banda Aceh. Roda bundarnya menggelinding perlahan namun pasti, mengarah ke pusat kota.
Perjalanan dari bandara ke pusat kota memakan waktu sekitar 30-45 menit, tergantung kecepatan kendaraannya.
Dari bang Taufik yang jadi driver gw hari ini, gw dapet cerita banyak tentang Aceh, khususnya tentang musibah besar di tahun 2004, yup, bencana tsunami.
Bagaimana bumi Aceh yang tenang, damai, dalam sekejap porak-poranda oleh bencana besar itu.
Sungguh manusia tiada daya di depan kuasa Allah SWT.
Jam 11.45 gw sampe di depan BTN, Jalan Teuku Umar, Banda Aceh.
Baru juga nurunin carrier dari taxi, Shinta dan Fika (ini anaknya Shinta yang bontot), udah ada di depan kompleks. Alhamdulillah….. ketemu juga dengan sahabat sewaktu SMP, yang udah ga ketemu sekitar 22 tahun!!!
Kangennyaaaaaaaaa……..
Trus gw diajak Shinta ke rumahnya, langsung disuguhin makan siang. Hmm…. yummy….. enak! 😀
Cerita-cerita sambil menikmati suguhan nasi putih panas, tumis buncis, kering tempe teri, tempe goreng. Sesekali mendengarkan celotehan Fika yang baru umur 5 tahun. Nostalgia, mengingat-ingat cerita-cerita masa SMP dan awal SMA.
Ketawa ngakak begitu teringat bandelnya waktu SMP 😀
Andai tak ingat dengan schedule solo trip yang udah gw bikin, rasanya males untuk keluar rumah dan menghentikan acara temu kangen ini. Tapi kan gw pengen liat kota Banda Aceh sebelum besok pagi berlayar ke ujung baratnya, yes! Besok gw akan ke Sabang, Pulau Weh.
Setelah beres-beres, dan Shinta siap dengan mio-nya, yeeaaayyyy…. gw akan keliling Kota Banda Aceh dianter Shinta….. Thanks a lot Ta!…. #ketjupbasah 😀
Destinasi pertama, Museum Tsunami.
Museum Tsunami
Jalan masuk ke Museum Tsunami
Kolam di tengah bangunan Museum Tsunami
Museum yang didirikan oleh kerjasama negara-negara yang memberikan bantuannya kepada Indonesia pasca terjadinya bencana Tsunami ini terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, Kota Banda Aceh. Museum ini merupakan pusat pengetahuan dan menyimpan berbagai peninggalan bencana Tsunami 2004 yang telah lalu.
Memasuki bangunan museum, kita akan disuguhi kolam besar berbentuk oval, dikelilingi dengan batu-batu bulat yang bertuliskan nama negara-negara pemberi bantuan. Di dalam kolam, terlihat ikan mas berenang ke sana ke mari. Di bagian atas kolam, tergantung bendera negara-negara pemberi bantuan.
Menaiki tangga landai melingkar, gw sampai di bagian ruang pamer. Di situ kita bisa melihat barang-barang peninggalan bencana Tsunami. Ada jam besar yang berhenti berdetak persis pada saat air bah menyapu seantero Kota Banda Aceh. Ada juga sebuah motor berwarna merah yang hanya tinggal kerangkanya akibat tersapu Tsunami.
Jam yang berhenti berdetak persis pada saat gelombang Tsunami menghantam Kota Banda Aceh
Beberapa diorama Tsunami juga dipajang di ruangan itu. Bagaimana gambaran sesaat sebelum Tsunami menerjang, air laut surut, dan ikan-ikan terdampar di sepanjang pantai. Yang membuat masyarakat di sekitar pantai dengan rasa penasaran mendekati bibir pantai dan mengumpulan ikan-ikan yang terdampar itu. Tanpa mereka sadari bahaya besar yang mengintai, gelombang air bah yang sangat deras dan dahsyat yang kemudian menghantam pantai dan orang-orang yang sedang berada di sekitarnya. Menenggelamkan dan menyapu semua yang ada di depannya tanpa pandang bulu.
Dari ruang pamer, gw akhirnya memasuki ruangan theater. Di sini akan diputar film pendek mengenai bencana Tsunami.
Memasuki ruangan theater yang gelap, mendadak rasa sunyi dan dingin merambat di tubuh gw. Mengambil kursi di bagian tengah ruangan, gw siap menyaksikan detik demi detik yang mencekam. Film dimulai dengan audio lantunan ayat suci yang membuat suasana sedih dan menyadarkan gw bahwa tiada kuasa melebihi kuasa Allah SWT.
Frame demi frame yang ditayangkan memperlihatkan betapa dahsyatnya bencana yang terjadi. Menyapu bersih Kota Banda Aceh. Bagaimana orang-orang berusaha dengan sekuat tenaga menyelamatkan diri dan keluarga serta siapa pun yang ada di sekitarnya dari terjangan air bah. Kota Banda Aceh yang tenang pagi itu menjadi riuh dengan hiruk pikuk teriakan orang-orang yang menyelamatkan diri, takbir berkumandang di seantero kota.
Gw melihat bagaimana berbagai kendaraan tersapu oleh air bah, bangunan-bangunan yang seketika luluh lantak diterjang air yang datang bertubi-tubi. Beribu tubuh kaku manusia terombang-ambing mengikuti derasnya aliran air bah yang menggerus Kota Banda Aceh.
Film pendek berdurasi hanya sekitar 30 menit itu sukses membuat gw mewek.
Ga terbayang gimana perasaan mereka yang mengalaminya secara langsung.
Nama-nama korban bencana Tsunami 2004 terpasang rapi di sebuah ruangan khusus (semoga mereka semua khusnul khotimah, aamiin)
Selesai menyaksikan film pendek, gw melanjutkan untuk melihat ruang foto. Di situ terpajang lengkap dokumentasi bencana Tsunami. Berbagai foto yang menggambarkan betapa bencana Tsunami di tahun 2004 itu telah meluluhlantakkan Kota Banda Aceh terpasang berderet-deret. Melihat bagaimana proses evakuasi dan pencarian korban di tengah kehancuran kota. Melihat betapa nilai kemanusiaan itu tidak memandang bangsa, agama dan kasta. Berbagai negara, dengan perbedaan warga negara, agama, warna kulit, pekerjaan, bersama-sama, tolong-menolong di dalam proses recovery bencana. Di sini gw melihat indahnya kebersamaan dan semangat tolong-menolong, rasa kemanusiaan yang tergambar dari perilaku semua orang yang bekerjasama.
Selesai ngider di seluruh ruangan yang ada di bagian atas museum, gw kembali menuruni tangga landai melingkar. Kembali ke area kolam di tengah bangunan museum ini. Di sisi lain lantai ini terlihat bangkai sebuah helikopter yang setengah bagiannya hanya berupa kerangka besi yang udah karatan. Ternyata itu adalah bangkai helikopter yang menjadi korban bencana.
Bangkai helikopter yang dihantam gelombang Tsunami
Kherkoff
Di samping Museum Tsunami, gw melihat Kherkoff. Yup, kompleks pemakaman Belanda yang di bagian tengahnya terdapat makam dari anak Sultan Iskandar Muda (Peutjoet) yang dihukum oleh ayahnya sendiri karena telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Sultan Iskandar Muda, yang pernah menjadi pemimpin Aceh pada tahun 1607-1635 terkenal sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Keadilan itu dibuktikan dengan menghukum putra kandungnya sendiri yang telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Sebagai pengingat, putranya kemudian dimakamkan di kompleks pemakanam Kherkoff, sehingga bisa menjadi contoh di kemudian hari.
Dari Museum Tsunami, gw kemudian menyeberangi jalan kota untuk sampai ke Lapangan Blang Padang. Blang Padang merupakan lapangan di pusat Kota Banda Aceh, seperti alun-alun kota yang sekarang menjadi pusat kegiatan masyarakat Banda Aceh. Berbagai aktivitas dilakukan oleh masyarakat di situ, seperti berolah raga, bersantai, dan lain-lain.
Di siang menjelang sore itu, gw melihat banyak masyarakat Banda Aceh yang sedang berolah raga, jogging, bermain sepak bola, senam, dan sebagainya. Di sisi lain lapangan, gw melihat sekumpulan anak muda yang sedang duduk bersenda gurau dengan teman-temannya.
Di lapangan Blang Padang ini gw melihat replika RI 1 yang merupakan pesawat terbang pertama yang dimiliki oleh Indonesia. Pesawat terbang yang diberi nama Seulawah RI 1 itu adalah pesawat yang dibeli seharga USD 120.000 atau setara dengan 25 kg emas, merupakan sumbangan masyarakat Aceh pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Replika RI 001, Seulawah
Masih di lapangan Blang Padang juga, gw melihat Monumen Thank’s to the World. Monumen yang menjadi kenang-kenangan dan ucapan terima kasih kepada para negara yang telah memberikan bantuan pada saat terjadinya bencana Tsunami.
Monumen Thank’s to the World
Negara-negara yang membantu recovery pasca bencana Tsunami
Salah satu monumen yang ada di Lapangan Blang Padang
Dari lapangan Blang Padang, gw dan Shinta meneruskan perjalanan ke lokasi PLTD Apung. PLTD Apung ini merupakan kapal milik PLN yang awalnya berada di perairan, sekitar 3 km dari pusat kota. Pada saat terjadinya bencana Tsunami, gelombang besar telah menghanyutkan PLTD ini hingga ke tengah kota. Memasuki kompleks PLTD Apung, di bagian kanan gw melihat sebuah monumen yang dikenal dengan Monumen Tsunami. Monumen berbentuk kerucut segi 6 yang terletak di tengah sebuah halaman beton, di bagian belakangnya berdiri dinding beton yang dilengkapi dengan diorama perjalanan PLTD Apung dari lokasi awalnya di laut, hingga terdampar di wilayah Gampong Punge Blang Cut.
Di sisi-sisi kerucut segi 6 itu terpampang nama-nama korban Tsunami dari Gampong Punge Blang Cut.
PLTD Apung di Gampong Punge Blang Cut
Monumen Tsunami
Setelah melihat PLTD Apung, Shinta ngajak gw ke pinggiran Kota Banda Aceh. Yup, sore itu gw diajak Shinta untuk melihat Pelabuhan Ulee Lheue, yang menjadi pelabuhan yang akan menghubungkan Banda Aceh dengan Sabang. Jadi, besok pagi gw akan nyeberang ke Pulau Weh dari sini.
Setelah menanyakan jadual kapal untuk besok pagi, gw diajak Shinta untuk menikmati sore di pinggir laut. Sambil menikmati jagung bakar dan kelapa muda, perfecto!
Sore itu di tepi Pelabuhan Ulee Lheue
Menikmati sore di pinggir laut, merasakan semilir angin laut yang bertiup, harumnya aroma laut, cahaya mentari yang semakin lama semakin menjadi jingga, membuat gw seolah ga mau beranjak.
Oh iya, di sini gw melihat patroli dari petugas keamanan khusus yang biasa disebut Wilayatul Hisbah (WH) mereka melakukan patroli di seputar kota untuk menjaga kota dari tindakan-tindakan pelanggaran syariat Islam yang mungkin terjadi.
Menjelang senja
Matahari telah di ujung garis horison ketika gw dan Shinta beranjak dari sana. Tujuan setelah ini adalah Mesjid Agung Baiturrahman. Saksi bisu bencana Tsunami, yang telah menyelamatkan beratus-ratus nyawa manusia yang berlindung di dalamnya ketika air bah menerjang pusat Kota Banda Aceh. Gw pengen ngerasain sholat Maghrib di sana.
Sebelum sampai di Mesjid Agung Baiturrahman, gw sempet singgah di kompleks Taman Sari Gunongan. Gunongan merupakan sebuah kompleks taman sari yang dulunya merupakan hadiah bagi Putri Phang, permaisuri dari Sultan Iskandar Muda. Taman itu dibangun karena sultan sangat mencintai permaisurinya dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila ditinggal oleh sultan menjalankan pemerintahan. Sultan membuat Gunongan sebagai hadiah kepada istrinya yang masih merupakan keturunan dari kerajaan Pahang agar sang puteri dapat mengobati rasa rindunya kepada kampung halamannya. Gunongan dibuat sama persis dengan lingkungan kerajaan tempat sang puteri berasal.
Sempat mengambil beberapa frame, perjalanan dilanjutkan ke tujuan akhir hari ini, Mesjid Baiturrahman.
Situs cagar budaya Taman Sari Gunongan
Taman Sari Gunongan
Senja itu, suasana di sekitar Mesjid Baiturrahman sangat adem.
Cahaya mentari senja berwarna jingga keemasan menghiasi langit di sisi kiri mesjid. Sangat kontras dengan putihnya bangunan mesjid dan kubah yang coklat gelap.
Hamparan awan putih menghiasi langit yang memayungi Mesjid Baiturrahman.
Di halaman mesjid, tampak masyarakat Banda Aceh yang akan menunaikan sholat Maghrib.
Gw bergegas menuju tempat wudhu di sisi kanan mesjid, ga mau ketinggalan merasakan sholat di mesjid yang penuh barokah ini.
Mesjid Agung Baiturrahman senja itu
Alhamdulillah… nyampe juga ke mesjid bersejarah ini
Merasakan sholat maghrib di bagian bumi yang jauh dari kota kelahiran, di tanah yang sempat menjadi saksi bisu bencana besar di Indonesia, di kota yang terletak di ujung barat negeri tercinta ini, di tengah-tengah manusia yang blom gw kenal, tapi gw ngerasa seperti berada di tengah-tengah keluarga.
Senyum tulus seorang ibu tua di sebelah gw setelah salam membuat gw mendadak kangen banget sama nyokap. Sebelum gw berangkat ke Aceh tadi pagi, gw sempet telepon nyokap, trus nyokap pesen “Mbak, sempetin sholat di Mesjid Baiturrahman. Aceh kan katanya serambi Mekkah, berdoa di sana, semoga kamu bisa segera sampe untuk beribadah di Baitullah”.
Whuaaaaaaaa…… mendadak mbrebes mili ini mata gw.
Bagian dalam Mesjid Baiturrahman
Sebelum beranjak meninggalkan mesjid, gw sempet melihat arsitektur bagian dalam. Pilar-pilar putih yang berbentuk pintu dan kubah terlihat di bagian dalam mesjid. Langit-langit putih dibuat berkotak-kotak dengan ornamen didominasi warna hijau dan kuning. Lampu antik tergantung di langit-langit. Lantai perselen membuat suasana di dalam mesjid sangat adem.
Interiornya begitu menyejukkan
Keluar dari mesjid, langit telah berubah menjadi gelap. Hanya cahaya lampu dari mesjid yang menjadi penerang. Mesjid Baiturrahman terlihat bercahaya malam itu. Kubahnya mengeluarkan semburat emas, cahaya putih memancar dari setiap pintunya.
Gw yang sedang belajar motret berusaha menangkap moment itu. Speechless liatnya.
Di bagian depan mesjid, berdiri menara dan sebuah gerbang. Dan malam itu pun, ke-2 bangunan itu menambah agungnya Mesjid Baiturrahman.
Menara dan gapura yang menambah kemegahan Mesjid Agung Baiturrahman
Selesai mengambil 1, 2 frame, Shinta ngajak gw pulang dulu ke rumah, sebelum lanjut hangout menikmati suasana malam di Kota Banda Aceh.
Malam itu Shinta janji mo nraktir gw mie Aceh yang terkenal, Mie Razali. Katanya itu mie Aceh yang paling ngetop di sana. Dan asal tau aja, ini lah pertama kalinya gw makan mie Aceh 😀
Gw mesen mie rebus udang+daging kali ini. Ga pake lama, sepiring mie rebus dengan kuah kentalnya yang berwarna coklat dan potongan-potongan udang+daging udah terhidang di depan gw. Ditemani sepiring acar yang isinya irisan bawang merah yang telah ditumis ½ matang dan rawit plus segelas jus wortel. Sluuuurrrrrppppp……. ternyata mie Aceh itu enak yak 😀
Kenapa ga dari dulu ya gw nyobain makannya? Kenapa nunggu sampe ke Aceh dulu baru gw nyobain makanan enak begindang? Hehehehehehehe….
nih, list menu di Mie Razali
klo ini pesenan gw mie udang+daging plus jus wortel
Menikmati udara malam di bumi serambi Mekkah, melihat berbagai aktivitas masyarakatnya.
Dan akhirnya kami singgah di Cafe Mama, yang konon katanya tempat gahooollnya orang Aceh 😀
Di sini, kata Shinta, roti canainya enak.
Oke, baiklah…. mari kita coba.
Gw mesen roti canai duren. Hmm…. suapan pertama (mikir), hmm…. suapan kedua (nyam nyam), suapan ketiga, enaaaaaaaaaaaakkkkkkk….. sumpah!
Beneran ini kata Shinta, roti canainya juara!
Malam ini di atas motor dalam perjalanan pulang ke rumah Shinta, gw cm bisa elus-elus perut yang kekenyangan. Alhamdulillah…… rejeki…. makan enak dan gratis pula 😀 (sering2 aja ya Ta…. betah deh gw :D)
Setelah mandi dan bersih-bersih, gw pun siap untuk bobok cantik malam ini.