Untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki di Pulau Dodola, sebuah pulau yang cukup kecil di sisi barat Pulau Morotai. Menyentuh putihnya pasir halus di sepanjang pantainya serta sengatan matahari sore. Pulau Dodola, pulau berpasir putih yang bentuknya memanjang ini memiliki hamparan pasir timbul seolah jembatan yang menghubungkan antara Dodola Besar dan Dodola Kecil. Hamparan pasir timbul itu hanya bisa dilalui saat air laut surut, sekitar pukul 10.30 hingga 19.00 wit. Rentang waktu yang cukup panjang tersebut menjadikan aktivitas berjalan menyusuri pasir timbul dari Dodola Besar menuju Dodola Kecil seperti wajib dilakukan saat berkunjung ke sana. Namun, saat musim angin barat, biasanya waktu pasang menjadi lebih cepat, sehingga apabila ingin menyusuri pasir timbul sebaiknya memperhatikan kondisi air laut. Seperti saat terakhir saya berkunjung ke sana, pada pukul 4 sore, hanya tersisa sedikit bagian pasir timbul yang tidak tersentuh air laut.
Pulau Dodola letaknya tidak seberapa jauh dari Pulau Morotai, sebagai pulau terbesar di bibir lautan Pasifik. Hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit menggunakan kapal dari pelabuhan Daruba. Pulau Dodola merupakan pulau dengan pemandangan yang sangat indah dan unik. Selain hamparan pasir timbul yang bisa dinikmati saat laut sedang surut, pemandangan senja di pulau ini juga sangat menawan.
Ada yang berbeda saat saya terakhir singgah ke Pulau Dodola. Kalau biasanya saya akan menghabiskan waktu dengan berenang dan main air di sepanjang garis pantai di sana, kali ini saya mencoba spot baru yang menawarkan suasana teduh di hutan Bakau. Menyusuri jembatan kayu yang masih sangat baru, yang mengarah ke sisi barat Pulau Dodola Besar, melintasi sejuk dan teduhnya vegatasi Bakau yang cukup rapat, sungguh pengalaman yang berbeda.
Perlu waktu kurang lebih 30 menit untuk menyusuri jembatan kayu yang membelah vegetasi Bakau di Pulau Dodola. Konstruksi jembatan dibuat tanpa merusak dan menebang pohon-pohon Bakau yang tumbuh di sana. Jangan terkejut apabila tetiba ada batang pohon yang tumbuh tepat di tengah-tengah jembatan, sehingga jembatan harus dilubangi untuk jalur tumbuhnya pohon Bakau tersebut. Tidak perlu juga heran apabila tiba-tiba sebatang pohon yang cukup besar terlihat melintang tepat di tengah-tengah jembatan, sehingga untuk melewatinya harus dengan cara merundukkan badan.
Di kanan dan kiri jembatan, mata akan dimanjakan oleh pohon-pohon Bakau yang ukurannya cukup besar dan rapat. Tanah berlumpur yang menjadi habitat tumbuhan Bakau terlihat sedikit digenangi air laut. Cahaya matahari sore sedikit menembus rimbunnya dedaunan hijau dari pepohonan yang banyak di sepanjang jalur jembatan.
Jembatan kayu itu belum sepenuhnya selesai. Masih ada beberapa bagian yang terlihat masih dalam proses pengerjaan. Panjang jembatan kayu itu mungkin lebih dari 500 meter apabila dihitung dari titik awal, belum lagi bagian jembatan yang sedang dalam tahap pengerjaan. Dan sore itu saya juga bertemu dengan beberapa orang bapak yang masih terus mengerjakan sisi jembatan yang belum selesai, walaupun hari mulai beranjak senja.
Bercerita tentang pohon Bakau, tumbuhan ini memiliki fungsi yang sangat banyak. Tumbuh di habitat tanah berlumpur, berair payau, tumbuhan ini berfungsi menjaga tanah dari abrasi air laut. Selain itu, akar-akarnya juga berfungsi meredam gelombang tinggi yang menghantam daratan. Bentuk akar dan pohonnya akan meredam dan mengurangi kencangnya gelombang air laut yang sampai di dataran. Saya teringat video singkat bagaimana gelombang laut yang tinggi akhirnya berkurang kekuatannya karena teredam oleh vegetasi Bakau yang tumbuh di sepanjang garis pantai. Untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sepertinya sangat baik untuk melestarikan tumbuhan Bakau di sepanjang garis pantai dari setiap pulau-pulaunya.