Nama Boki Moruru baru saya dengar saat saya menginjakkan kaki di kota Weda yang berada di salah satu teluk di kaki Pulau Halmahera. Perjalanan beberapa hari di kota Weda dalam rangka melihat dari dekat falsafah Fagogoru di kehidupan masyarakat Halmahera Tengah ternyata justru memberikan banyak informasi baru kepada saya mengenai daerah-daerah yang memiliki potensi wisata di sana. Salah satunya adalah Goa Boki Moruru. Ya, Boki Moruru adalah nama sebuah goa yang terletak di suatu sudut Desa Sagea yang sarat dengan berbagai hikayatnya.
Perjalanan saya pagi itu menuju Goa Boki Moruru dimulai dari kota Weda. Dengan menggunakan kendaraan roda 4, kami bergerak ke arah timur menuju jalan Trans Halmahera. Perjalanan menuju lokasi Goa Boki Moruru kurang lebih 60.1 km panjangnya, dan bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam 30 menit, karena di beberapa ruas jalan kondisinya belum terlalu bagus. Kami melewati beberapa desa, seperti Lelilef dan Kobe. Termasuk area yang dulunya merupakan lokasi pertambangan yang dikelola oleh WBN.
1.5 jam pertama, perjalanan sangat lancar. Jalanan beraspal hitam yang diapit perbukitan dan garis pantai memberikan pemandangan indah yang sangat alami. Setelah mencapai Desa Kobe, jalanan mulai sedikit bergelombang dengan beberapa lubang dan kubangan. Jalanan aspal pun mulai bercampur dengan tanah dan batuan lepas menemani di sisa perjalanan menuju Desa Sagea.
Saya tiba di Desa Sagea yang merupakan pintu masuk menuju lokasi Goa Boki Moruru menjelang siang. Setelah melepas penat sejenak sembari menyantap nasi kuning di pinggir pantai, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sebuah perahu katinting (perahu tradisional setempat) menuju Goa Boki Moruru.
Goa Boki Moruru berjarak sekitar 5 km dari Desa Sagea, desa terakhir sebagai akses menuju lokasi goa. Perjalanan dengan perahu menyusuri Sungai Sageyen ditempuh dalam waktu sekitar 30 – 45 menit. Di sepanjang sungai terlihat pepohonan yang rimbun menghijau. Air sungai Sageyen sangat jernih sehingga dasarnya terlihat jelas dari atas perahu. Di beberapa bagian aliran sungai sedikit dangkal sehingga perahu tidak bisa melewatinya tanpa penumpang harus turun. Delta-delta kecil dari batuan terlihat di kanan, kiri bahkan di tengah aliran sungai.
Dan akhirnya saya tiba di Buleu (sebuah daratan yang terdiri dari timbunan bebatuan yang cukup besar), yang menjadi tanda bahwa saya telah tiba di mulut Goa Boki Moruru. Informasi dari penduduk lokal yang mendampingi saya di perjalanan menyarankan agar saya terlebih dulu mencuci muka menggunakan air sungai dan bersalawat sebelum masuk ke dalam goa. Saya pun menuruti.
Air sungai yang jernih terasa sangat dingin menyegarkan saat saya membasuh muka beberapa kali di salah satu sudut daratan batu yang ada di depan pintu masuk ke Goa Boki Moruru. Dan mulut saya pun perlahan melafalkan salawat.
Untuk mencapai goa, saya kembali menaiki perahu karena aliran sungai di mulut goa cukup dalam. Perahu kemudian bersandar di sebuah dermaga kecil yang terbuat dari besi yang sudah cukup tua, terlihat dari karat yang ada di mana-mana. Dermaga besi kecil ini mungkin hanya berukuran sekitar 1 – 2 meter. Di salah satu sisinya terdapat sebuah tangga yang juga terbuat dari besi yang menjadi akses satu-satunya untuk mencapai bagian goa yang datar. Untuk mencapai bagian goa yang lumayan datar, saya harus menaiki tangga besi yang cukup curam itu sekitar 2 – 2.5 meter. Tangga besi yang bagian-bagiannya telah using dimakan karat membuat saya harus sangat berhati-hati untuk berpijak dan mencari pegangan.
Sesampainya di atas, di depan mata saya terbentang hamparan stalagtit dan stalagmit dengan berbagai bentuk. Permukaan goa ditutupi dengan tanah liat dan lumpur halus yang membuat saya harus menanggalkan sandal jepit yang saya gunakan, dan bertelanjang kaki. Menginjak tanah liat basah yang bercampur sedikit lumpur, membuat saya harus kembali ekstra berhati-hati agar tidak terpeleset.
Bagian dalam goa cukup gelap karena tidak ada sumber cahaya matahari yang masuk. Beruntung salah satu teman yang bersama dengan saya membawa sebuah lampu untuk lighting pemotretan, dan akhirnya kita gunakan sebagai sumber cahaya untuk melintasi goa. Sebelum saya dan teman-teman menjelajahi bagian dalam goa, ada pesan dan tetua masyarakat di sana untuk mengumandangkan adzan. Saat adzan dikumandangkan, seluruh sumber cahaya dimatikan, termasuk cahaya dari lampu dan HP yang kami bawa. Dalam keadaan gelap gulita, salah seorang pemandu mengumandangkan adzan dengan merdunya. Suasana mendadak terasa damai, tenang. Setelah adzan dikumandangkan, penerangan mulai kami nyalakan kembali dan kami mulai menjelajahi isi goa.
Saya dan teman-teman mulai mengeksplor bagian dalam Goa Boki Moruru. Melihat berbagai macam stalagtit dan stalagmit yang ada di dalamnya. Ada yang menyerupai sebuah meja bundar besar, ada yang seperti barisan orang-orang yang sedang berdiri, ada yang berbentuk bagaikan orang yang sedang rukuk, dan sebagainya. Menurut cerita penduduk setempat, panjang goa ini belum diketahui, karena belum ada yang berhasil mencapai ujungnya.
Hari itu, saya dan teman-teman hanya berhasil menjelajahi sepanjang 400 meter isi goa. Melihat beraneka bentuk stalagtit dan stalagmit yang membuat saya tak henti berdecak kagum. Beberapa stalagtit bahkan memiliki bagian yang berpendar saat disorot cahaya bagaikan kristal. Saya membayangkan seandainya goa ini ditata dan diberdayakan sebagai destinasi wisata, tentunya tanpa menghilangkan unsur alami, pasti akan banyak membantu penduduk di sekitarnya dari segi mata pencaharian. Membayangkan stalagtit dan stalagmit tadi dibersihkan dari percikan-percikan lumpur, hingga bagian-bagian yang menyerupai kristal akan membiaskan aneka warna apabila terkena cahaya, wah…. pasti sangat cantik.
Karena hari telah menjelang sore, saya dan teman-teman pun harus kembali menuju pintu keluar goa.
Sesaat setelah perahu meninggalkan dermaga kecil, selintas saya mendengar suara seperti memanggil dan salah satu teman yang berada di perahu menyahut dengan mengatakan “Dohama ngom”. Saya tidak berani bertanya karena perahu katinting ini bentuknya sangat kecil, sehingga apabila saya sedikit saja salah bergerak, sudah pasti perahu akan terguling. Saya menyimpan pertanyaan itu rapat-rapat.
Di perjalanan pulang, saya melihat beberapa penduduk desa yang sedang mengolah Sagu, yang merupakan tanaman dominan di sekitar Sungai Sageyen. Pengolahan Sagu dilakukan dengan cara tradisional. Terlihat juga beberapa perahu katinting yang dinaiki oleh anak-anak kecil yang bertelanjang dada dan sekujur tubuhnya basah. Rupanya, selain menyusuri sungai menggunakan perahu, anak-anak itu juga berenang. Wajah mereka terlihat sumringah saat kami lewat dan melambaikan tangan.
Kami tiba di Desa Sagea menjelang pukul 5 sore. Langit sudah beranjak temaram, namun masih menyisakan warna birunya. Permukaan air sungai Sageyen sore ini mulai pasang, sehingga perahu yang kami tumpangi bisa merapat hingga ke ujung jembatan. Di pinggir sungai yang tidak jauh dari tempat perahu yang saya tumpangi bersandar, terlihat calon perahu yang sedang dikerjakan oleh penduduk lokal tertambat di bawah pohon.
Menutup cerita sore itu, saya pun meminta seorang penduduk lokal untuk bercerita tentang hikayat Goa Boki Moruru. Menurut hikayat yang terdengar turun-temurun, Goa Boki Moruru mempunyai arti “puteri yang menghanyutkan diri”. Alkisah, dulu ada seorang puteri cantik jelita yang berasal dari Kesultanan Tidore yang berenang dan menghanyutkan diri hingga ke goa tersebut. Dan berdiam di sana. Bagaimana kelanjutan dari cerita tersebut, penduduk lokal pun tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Dan saya harus puas dengan sepotong cerita tersebut. Satu pertanyaan terjawab, pertanyaan selanjutnya yang masih membuat saya penasaran adalah perkataan teman di atas perahu yang diucapkan persis setelah kami keluar dari goa dan sepintas mendengar suara yang memanggil. Ternyata, kalimat “dohama ngom” yang diucapkan oleh salah seorang teman itu artinya “tunggu kami”. Selain saya, rupanya teman saya juga mendengar suara yang sekilas seperti menegur kami saat akan meninggalkan goa. Teman ini kemudian mengucapkan “Dohama ngom, nanti kami ke sini lagi” sembari menyentuh permukaan air dengan tangannya.