Search

Mengobati Rasa Penasaran dengan Ujung Genteng

 
Ini adalah catatan perjalanan saya di akhir tahun 2013 kemarin.
Setelah sekian lama selalu mendengar kata Ujung Genteng, tapi ga beranjak juga untuk pergi ke sana, akhirnya Desember taun lalu saya memutuskan untuk ikut open trip ke Ujung Genteng. Yang ngadain Travollution. Ini trip organizer recommended dah, saya mulai kenal founder-nya – Hafiz – sejak 2011, sebelum beliau… membentuk Travollution.
Kita berangkat dari Jakarta sekitar jam 9 malam, hari Jumat after office.
Seperti biasa, kali ini pun saya berangkat sendirian, maksudnya dari sekian banyak peserta, ga ada yang saya kenal, kecuali leader dan co leader-nya.
Seperti biasa, kalau perjalanan malam, saya selalu membiasakan diri untuk saving tenaga, jadi… sepanjang perjalanan malam itu saya pun tidur dengan pules di elf yang akan mengantarkan saya ke Ujung Genteng.
Ternyata, Ujung Genteng itu jauh ya…. Terbukti elf yang saya tumpangi baru tiba di daerah Ujung Genteng keesokan paginya.
Sungai Cikaso pagi itu
Saya tiba di sana sekitar pukul 7.15 pagi. Dan tujuan pertama kami adalah sebuah curug, Curug Cikaso. Jadi, setelah elf parkir dengan sempurna, kami pun segera meniti jalan setapak menuju sungai yang ada di kampung tersebut. Lho, pasti jadi pertanyaan kan, kenapa harus ke sungai?
Sebenarnya Curug Cikaso ini bisa diakses lewat jalan darat, hanya saja jaraknya lumayan jauh. Nah…. agar lebih cepat, kami waktu itu mempergunakan jasa sewa perahu yang memang tersedia di Kampung Ciniti. Harga sewa perahunya sekitar Rp 70.000 untuk 12 penumpang. Waktu itu rombongan kami menggunakan 2 buah perahu.
Dan jadilah, pagi itu saya merasakan berperahu ria di sungai yang airnya sedang pasang dengan warna kecoklatan akibat hujan di malam sebelumnya.
perjalanan menuju Curug Cikaso
Berperahu sekitar 10 menit, maka sampai lah saya di lokasi Curug Cikaso. Dari turun perahu, saya masih harus berjalan sekitar 100 meter untuk sampai di lokasi curug. Pagi itu, jalanan tanah menuju curug masih basah oleh embun dan sisa air hujan semalam, jadinya jalanan setapak itu cukup licin. Saya beberapa kali harus terkaget-kaget karena tiba-tiba pijakan kaki ini terasa bergeser (untung ga gedebug :D).
Sekitar 25 meter dari curug, saya sudah mulai merasakan cipratan airnya, dingin! hihihihihi….
Waduh, kalo airnya nyiprat ke mana-mana gini, gimana caranya bisa motret ya???
Saya pun mulai melipir-melipir, mencari lokasi yang tidak terkena cipratan air.
Nih, saya ceritain dikit tentang Curug Cikaso…….
Curug Cikaso sebenarnya bernama Curug Luhur, yang mengalir dari sebuah anak sungai dari Sungai Cikaso yang bernama Cicurug. Tapi oleh masyarakat, curug ini lebih dikenal dengan nama Curug Cikaso.
Curug Cikaso terbentuk dari 3 titik air terjun yang berdampingan letaknya, dengan 1 lokasi kolam yang sama, yang airnya berwarna hijau kebiruan. Untuk 2 titik air terjunnya dapat terlihat jelas, sedangkan 1 titik lainnya agak tersembunyi di tebing yang menghadap ke Timur. Kolam di bawah limpahan ke-3 curug tersebut alirannya akan menuju laut muara Tegal Buleud, Sukabumi. Sebenarnya, kolam di bawah curug itu boleh digunakan untuk berenang, namun harus diawasi oleh yang berpengalaman, karena kedalaman kolam itu mencapai 15 m.
Curug Cikaso
Nah… masing-masing titik air terjun itu memiliki nama yang berbeda, yang berada di sebelah kiri bernama Curug Asepan, yang di tengah Curug Meong, dan yang di sebelah kanan bernama Curug Aki. Ke-3 curug tersebut memiliki ketinggian sekitar 80 meter dengan lebar tebing sekitar 100 meter. Oh iya, Curug Cikaso ini berada di Kampung Ciniti, Desa Cibitung, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Untuk aksesnya, curug ini berjarak sekitar 8 km dari pusat kota Kecamatan Surade, 15 km dari Jampang Kulon, atau 30 km dari Ujung Genteng, dan sekitar 110 km dari Kota Sukabumi, atau +/- 70 km dari Pelabuhan Ratu. Dari Kota Surade, apabila menggunakan kendaraan roda 4, jarak itu bisa ditempuh sekitar 30 menit untuk tiba di pertigaan Jalan Cikaso dengan kondisi jalan yang berliku dan beraspal mulus. Tapi mendekati desa terakhir sebelum sampai ke curug, kondisi jalan mulai berbatu-batu.
Ada 2 jalur yang bisa ditempuh untuk sampai di Curug Cikaso, pertama melalui pertigaan/pasar (Cinagen, Jampang Kulon) masuk ke arah Cikaso, kurang lebih 5 km. Yang kedua melalui pertigaan (Cibarehong, Surade) ke arah SMA N 1 Surade, kemudian berbelok ke kiri, kurang lebih 3 km, jalur ini sedikit memutar sehingga membutuhkan waktu sekitar 6 jam.
Walaupun pagi itu belum mandi (ups), tapi begitu kena cipratan air dari curug, mata langsung seger. Airnya dingin…………. (pake bingits) 😀
ini teman-teman seperjalanan saya ke Ujung Genteng
Akhirnya, setelah liat-liat curug, udah poto-poto, udah poto keluarga juga dengan seluruh peserta, saya pun balik kanan menuju ke perahu. Yup, balik lagi naik perahu untuk kembali ke parkiran elf.
kembali mengarungi Sungai Cikaso
Selesai explore curug, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Amanda Ratu di Pelabuhan Ratu.
suasana seperti itu yang bikin betah

Perjalanan dari Curug Cikaso menju Pantai Amanda Ratu tidak terlalu jauh.
Pantai Amanda Ratu ini dijuluki Tanah Lot-nya Jawa Barat. Hal ini disebabkan adanya sebuah daratan yang mirip Tanah Lot, yang ada di tengah laut. Pantai ini menghadap langsung ke Samudera Hindia dengan ombaknya yang indah.
Dan siang itu, saya tiba di Pantai Amanda Ratu ditemani awan kelabu yang membuat hari sedikit adem. Cahaya matahari tampak tidak terlalu panas sinarnya, sehingga saya bisa dengan nyaman berjalan-jalan mencari spot foto yang cantik.
Air muara sungai siang itu berwarna coklat keruh akibat hujan semalam, namun makin ke tengah samudera, warnanya semakin jernih.
Memang terasa nyaman, duduk di tebing pantai, sambil merasakan angin yang bertiup semilir, sambil menikmati deburan ombak yang memukul bibir pantai.





Pantai Amanda Ratu
Tanah Lot-nya Jawa Barat nih

Di pantai ini ada penginapan yang diberi nama persis sama dengan nama pantainya, Amanda Ratu. Penginapan kayu di tengah kebun kelapa ini terasa sangat asri dan sejuk. Bangunan yang didominasi kayu berwarna coklat, dengan beberapa jendela kaca besar dan sebuah teras berpagar kayu unik di atasnya itu sungguh terasa nyaman untuk ditinggali. Hanya sayang, waktu itu saya dan teman-teman tidak menginap di sana. Maybe next time….
Hijaunya rumput di seluruh halaman pantai (sebenarnya) menarik saya untuk guling-guling di situ. Tapi…… kira-kira kalau saya melakukan itu, teman-teman yang lain heran ga ya? 😀

penginapan Amanda Ratu

 

senang ya liat keadaan di sekitar penginapannya
ini Firaz, peserta trip terkecil waktu itu,
dan tetangga kamar yang menggemaskan

 

 
seperti biasa, mari foto keluarga

Kami tidak berlama-lama di Pantai Amanda Ratu, karena hari itu kami harus segera sampai di Pantai Pangumbahan untuk mengikuti acara pelepasan tukik. Tau tukik ga? Tukik itu adalah anak penyu. Jadi nanti di Pantai Pangumbahan, saya dan teman-teman akan melakukan pelepasan bayi-bayi penyu itu ke laut.

Hayuk kita teruskan perjalanan…….

Elf yang saya dan teman-teman tumpangi segera bergerak menuju Pantai Pangumbahan. Sebelum melakukan pelepasan tukik, karena proses pelepasan tukik dilakukan menjelang maghrib, kami singgah dulu di penginapan (duh, saya lupa nama penginapannya). Sampai di penginapan, ternyata jatah makan siang telah menunggu kami. Sebenarnya kalau dibilang makan siang, udah kelewatan sih waktunya, karena kami tiba di penginapan sekitar jam 2 siang.
Ga nunggu dipersilakan berkali-kali, langsung seluruh pasukan menyerbu meja makan dan mulai mengisi piringnya masing-masing dengan menu yang disediakan siang itu: nasi putih hangat, sayur asem, ayam dan tempe goreng, serta lalapan dan sambel. Hmm…. yummy…..

Udah selesai makan, kenyang dong pastinya…
Baru deh kami dibagiin kamar untuk nginepnya.
Karena saya perginya sendiri, di sini saya kebagian berbagi kamar dengan Mira, dan tetanggan kamar dengan bocah kecil menggemaskan yang fotonya ada di atas tadi, Firaz. Bocah laki-laki yang berumur belum 3 tahun ini nantinya akan jadi tamu setia di teras depan kamar saya. Dan akan menghibur dengan celotehannya serta aksi manjat-manjat dan lompat-lompatnya. Saya dan Mira pun langsung menuju kamar kami yang letaknya paling ujung. Sampai di kamar, berbagi tempat tidur (kami mendapatkan twin bed room, jadi jatah bobonya luas), dan bersih-bersih (akhirnya ngerasain mandi juga hari ini :D).
Sekitar jam 1/2 5 sore, kami berkumpul dan segera menuju Pantai Pangumbahan utnuk melakukan pelepasan tukik. Dari penginapan, kami harus menggunakan elf untuk sampai di lokasi pantai karena letaknya yang cukup jauh. Sampai di sana pun, elf yang saya tumpangi tidak bisa sampai ke pantai karena jalanan menuju penangkaran penyu cukup sempit untuk dilalui elf. Jalanan tanah berbatu itu hanya cukup dilewati kendaraan roda 4 berbodi kecil. Jadi, setelah elf-nya parkir, saya dan teman-teman harus berjalan kaki sekitar 400 meter untuk sampai di komplek konservasi penyu Pangumbahan.
ini bangunan balai konservasinya, lucu ya… ada penyu gede di atapnya 😀
Dari balai konservasi, kami melanjutkan jalan kaki menuju Pantai Pangumbahan. Jaraknya lumayan, sekitar 100-150 meter. Dan untuk mencapai pantai, kami melewati deretan mangrove yang sedang dibudidaya sebelum ditanam untuk mengurangi abrasi pantai akibat gerusan air laut. Dan akhirnya………. hore…… di depan mata saya terbentang lautan paris putih kecoklatan yang sangat luas.
pantainya luas………..
suka banget dengan suasana pantai dan ombaknya yang cantik
Sore itu, Pantai Pangumbahan cukup ramai. Hampir di setiap sudutnya terlihat kelompok-kelompok pengunjung yang sedang menikmati pantai senja itu. Tadinya saya berharap bisa sekalian menunggu sunset di sini, tapi sepertinya keinginan itu tidak bisa terlaksana karena gulungan awan kelabu terlihat menggelayut di langit. 
menunggu moment sunset yang gagal karena mendung tebal
Sambil menunggu moment pelepasan tukik, saya mencari lokasi yang bisa saya gunakan untuk berakrab-akrab dengan pasir pantai yang lumayan halus itu. Sambil menenteng kamera, saya akhirnya mendapatkan sebuah spot untuk mengistirahatkan kaki saya dibenaman pasir pantai.
tadinya saya berharap foto ini berupa siluet, tapi sayang ga bisa sunset-an di sini
Dan akhirnya, moment yang saya tunggu tiba juga. Beberapa orang petugas konservasi membawa sebuah bak hitam besar yang berisikan puluhan ekor tukik yang siap dilepas ke pantai. Saya ga kebagiannya tukiknya… hiks… 🙁
Dan harus cukup puas dengan melihat saja.
menunggu saat pelepasan tukik

Pengunjung yang akan melepaskan tukik harus berdiri di belakang sebuah garis yang dibuat oleh petugas konservasi. Garis itu adalah garis batas ombak laut yang sampai ke daratan, sehingga nantinya apabila tukik-tukik itu dilepaskan, mereka akan langsung dapat berenang mengikuti ombak laut.

ayo tukik…. kamu bisa!!!
ombak yang mencapai pantai ini membantu tukik-tukik untuk segera sampai di laut

Senja itu, puluhan tukik berlomba-lomba berenang ke laut, kembali ke habitat aslinya. Berjuang melewati hamparan pasir untuk mencapai laut lepas. Selesai melepas tukik, langit pun semakin gelap, saya dan teman-teman segera kembali ke parkiran elf.
Malam itu, acaranya bebas. Setelah makan malam, sbagian teman-teman memanfaatkan waktu untuk berenang di kolam yang ada di depan penginapan. Sementara saya dan Mira, kami hanya duduk-duduk sambil ngobrol di sebuah gazeebo yang ada di halaman penginapan. Sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba……. breeeessss…. hujan turun dengan derasnya. Saya dan Mira langsung ngacir ke arah kamar…. hehehehehehe…. Mungkin memang sebaiknya malam ini saya beristirahat aja, cuaca cukup mendukung untuk bersembunyi di balik selimut malam itu ^.*

Bye semuanya….. kita ketemu lagi besok pagi ya…..
Besok, kita akan jalan-jalan ke curug lagi lho…..

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Selamat pagi……… #sambilnguletdikasur

Cuaca tadi malam yang adem karena hujan, sukses membuat saya nyenyak (sampai ga sempat mimpi, hihihihihi…) di balik selimut. Dan pagi ini, saya bangun dengan segar. Setelah sarapan, kami segera bersiap-siap menuju Curug Cigangsa.

Elf yang saya tumpangi kembali melintasi aspal hitam menuju Desa Batu Suhunan. Untung saja, jalanan menuju Desa Batu Suhunan bisa dibilang cukup bagus, dengan aspal yang mulus. Hanya saja beberapa saat mendekati Desa Batu Suhunan, jalanan aspal mulus berganti dengan jalanan aspal kasar yang di beberapa tempat terdapat lobang yang cukup mengganggu. Sekitar jam 10, kami tiba di Desa Batu Suhunan. Elf berhenti di depan sebuah rumah warga yang biasa menjadi meeting point untuk pengunjung yang akan melihat Curug Cigangsa.

pagi itu di Desa Batu Suhunan

Curug Cigangsa sebenarnya bernama Curug Luhur Cigangsa, berada di Desa Batu Suhunan, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Untuk sampai ke lokasi Curug Luhur Cigangsa, kita harus berjalan kaki melintasi pematang sawah, dan kemudian menuruni tangga batu alami yang lumayan terjal. Jarak dari tempat kami parkir elf menuju curug sekitar 500 meter.
Jalan di pematang sawah, sebenarnya ga terlalu masalah. Yang jadi masalah adalah saat menuruni tangga batu alami yang lumayan terjal, apalagi ditambah dengan sisa hujan tadi malam. Membuat tangga batu itu cukup licin, sehingga harus sangat extra hati-hati waktu menuruni dan naiknya. Tapi…. setelah sampai di lokasi curug, semua kesulitan untuk menuruni tangga batu itu terbayarkan.

Curug Luhur Cigangsa

Di depan mata saya berdiri tebing batu bertingkat 3 dengan limpahan air yang menuruninya. Tebing batu itu berwarna hitam kehijauan karena lumut yang tumbuh di permukaannya. Dan karena malam sebelumnya hujan, air di kolam yang ada di bawah curug pun berwarna kecoklatan. Di sekitar kolam tersebut banyak batu-batu besar yang dapat kita jadikan pijakan untuk mendekati curug. Tapi… batu-batu itu pun penuh lumut, jadi harus sangat hati-hati melangkah di atasnya.
Saya tidak berani menyeberangi batu-batu besar berlumut yang ada di sekitar curug untuk mencari spot foto yang mungkin sangat bagus, karena takut terpeleset dan gedebug jatoh di situ 😀
Dan saya akhirnya cukup puas dengan memotret Curug Luhur Cigangsa dari batu besar yang letaknya paling dekat dengan tangga 😀
Akses menuju lokasi Curug Luhur Cigangsa belum ada penunjuk arahnya. Jadi, setelah melalui pertigaan tugu Kota Surade, sebaiknya kita bertanya dengan masyarakat di situ, agar tidak salah arah. Curug ini berjarak sekitar 110 km ke arah selatan dari Kota Sukabumi, dan sekitar 1 km dari pusat Kota Surade.
Setelah puas melihat dan mengambil beberapa shot foto Curug Luhur Cigangsa, saya dan teman-teman kemudian kembali menaiki tangga, melintasi pematang sawah, kembali ke parkiran elf.

Selesai sudah perjalanan saya kali ini untuk menebus rasa penasaran akan Ujung Genteng. Makin banyak saya melihat sudut-sudut daerah di Indonesia ini, saya semakin pengen teriak “Damn!!! I love Indonesia so much!!!”.

di pagi menjelang siang yang mendung itu, suasana di Desa Batu Suhunan sangat tenang

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these <abbr title="HyperText Markup Language">html</abbr> tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.