Positif!
Cukup 1 kata siang itu yang membuat otak saya berputar cepat. Ternyata beberapa gejala yang saya rasakan hampir seminggu terakhir ini berakhir dengan 1 kata sakti itu yang tertera di atas lembaran hasil pemeriksaan. Ya, saya positif COVID-19.
Sebenarnya ini cerita pengalaman hampir 1 tahun lalu, saat pandemi merajalela dan menjadi momok yang cukup menakutkan, di mana jumlah angka pasien yang terinfeksi virus naik dengan cepat, dan angka kematian pun tak kunjung turun. Mulai susahnya mencari rumah sakit, oksigen, bahkan untuk melaksanakan pemakaman pun harus mengantri.
Walaupun saat akan menjalani tes PCR (Polymerase Chain Reaction) saya sudah yakin bahwa saya telah terinfeksi, karena tetiba saja pagi itu indra penciuman saya tidak berfungsi sebagaimana normalnya. Tidak terciumnya wangi sabun mandi, pasta gigi, bahkan parfum yang saya semprotkan telah memberikan saya keyakinan bahwa saya telah terinfeksi. Namun saya tetap menjalani tes untuk meyakinkan diri dan sebagai dokumen pelengkap apabila saya harus menjalani karantina. Dan benar saja, saat hasilnya keluar, 1 kata sakti itu tercetak rapi di lembaran hasil tes yang saya terima.
Ok, setelah hasilnya positif, what should i do?
Oh iya, sebelum menjalani tes saya memang sudah merasakan beberapa gejala yang menurut informasi yang saya baca merupakan ciri-ciri dari orang yang terinfeksi oleh virus Corona (Severe Acute Respiratory Syndrom Coronavirus 2 – SARS-CoV-2). Apa saja gejala yang saya rasakan? Antara lain seperti ini:
- demam hingga 38.6 derajat (demam ini tidak terus-menerus, saya hanya merasakannya 3 kali dan tidak dalam hari yang berurutan. Lamanya pun kurang dari 1 jam)
- badan ngilu dan nyeri (ini rasanya seluruh badan remuk, sakit banget kayak habis jatuh)
- lidah hanya kenal rasa asin (semua makanan rasanya asin, bahkan buah-buahan pun rasanya semu-semu asin gitu)
- lemas (pengennya rebahan mulu karena badannya lemes)
- hilang penciuman (anosmia)
- batuk pilek
Terus terang, saya sedikut parno dengan kondisi saat itu, apalagi angka penderita COVID-19 sedang tinggi-tingginya. Sehingga begitu hasil tes PCR keluar saya langsung menghubungi puskesmas yang paling dekat dengan tempat tinggal saya untuk melaporkan diri bahwa saya terinfeksi. Dari puskesmas memberikan opsi untuk dirawat di Wisma Atlet atau di rumah sakit. Karena saya merasa masih bisa mengurus diri sendiri, dan melihat tingginya kebutuhan rumah sakit bagi pasien-pasien yang lebih parah kondisinya, saya memilih untuk diisolasi dan dirawat di Wisma Atlet saja.
Pihak puskesmas sangat responsif dan membantu. Setelah ditanya apa saja gejala yang saya rasakan, dan bagaimana kondisi saya saat itu, petugas puskesmas langsung meminta beberapa dokumen sebagai persyaratan rujukan untuk perawatan di Wisma Atlet. Dokumen yang diminta adalah:
- hasil tes PCR
- KTP
- KK
- BPJS
Karena menurut petugas puskesmas gejala yang saya alami cukup banyak, saya diminta untuk memeriksakan diri terlebih dulu ke puskesmas sebelum dirawat di Wisma Atlet.
Sembari menunggu proses administrasi selesai, saya diminta untuk isolasi mandiri dulu di rumah. Selama isolasi mandiri, saya rutin memeriksa saturasi oksigen, suhu badan, konsumsi vitamin dan makanan yang tinggi protein (walaupun semuanya hanya terasa asin di lidah).
Akhirnya tibalah hari saya dievakuasi ke Wisma Atlet.
Perjalanan ke Wisma Atlet menurut saya adalah perjalanan paling memacu adrenalin yang pernah saya rasakan. Mulai dari bunyi ambulance yang membawa saya dan 2 teman pasien lainnya ke Wisma Atlet, hingga pergerakan ambulance yang saya rasa berjalan sangat ngebut membuat jantung terus berdegup kencang.
Sesampainya di Wisma Atlet, saya dibawa ke ruang registrasi untuk mendapatkan gelang penanda bahwa saya telah terdaftar di sana sebagai pasien. Bagaimana kondisi di ruang registrasi? Wah, ruangan penuh, bahkan sebagian pasien menunggu di teras wisma. Beruntung saya dan 2 orang teman yang berangkat bareng tadi mendapatkan kursi di ruang tunggu. Badan saya semakin lemas dan tidak kuat untuk berdiri lama. Bahkan di ruangan ber-AC itu saya merasakan keringat mulai mengucur di sekujur tubuh (mungkin ini campuran stres juga melihat kondisi ruang tunggu yang ramai :D).
Pukul 9 malam akhirnya saya tiba di Unit 4, lt 12, Tower 7 Wisma Atlet Kemayoran. Finally!
Jangan ditanya gimana rasanya badan saya saat itu. Yang ada di pikiran saya hanya “saya ingin cepat-cepat rebahan dan istirahat”. Rasanya sangat-sangat capek dan lemas. Namun ternyata malam itu saya ga bisa tidur, karena hampir setiap 5 menit, terdengar suara ambulance yang memasuki halaman wisma.
Keesokan paginya saya menjalani pemeriksaan EKG, ambil sampel darah serta rontgen thorax. Alhamdulillah hasil rontgen saat itu menunjukkan bahwa paru-paru saya bersih, tidak ada bercak-bercaknya.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, selama perawatan dan isolasi di Wisma Atlet, kegiatan saya apa saja? Rutinitas yang saya lewati selama masa isolasi dan perawatan di Wisma Atlet antara lain:
- wajib periksa tensi, suhu badan serta saturasi oksigen 3 kali sehari (jam 6 pagi, 12 siang dan 6 sore)
- olahraga ringan, kebetulan di lantai unit yang saya tempati disediakan semacam teras terbuka yang cukup luas sehingga bisa dijadikan jogging track. Sebenarnya pasien yang ada di Wisma Atlet bisa berolahraga di halaman, bahkan ada aerobik, volley dan lain-lain. Namun demi menghindari bertemu terlalu banyak orang, saya lebih memilih berolahraga di teras yang ada di lantai unit.
- masih mengikuti beberapa kelas bahasa online
- me time dengan nonton film + drama favorit (thank you to Netflix, Disney HotStar, WeTV dan semua aplikasi nonton lainnya)
- masih ngerjain kerjaan kantor juga walau ga bisa lama-lama duduk melototin laptop karena badannya lemas
Oh iya, memang selama perawatan saya harus meminum obat dalam jumlah yang cukup banyak, rutin sehari 3 kali. But it’s ok! Kan semuanya demi kesembuhan. Selama di Wisma Atlet, kami, pasien-pasien ini, mendapatkan nasi box dengan menu tinggi protein.
Di Wisma Atlet, kebetulan unit yang saya tempati posisinya di pinggir, dekat dengan jendela yang memiliki pemandangan cukup indah kalau sore. Jadilah saya memuaskan hobi memotret dengan menunggu senja setiap hari. Bahkan dari jendela kamar pun saya mendapatkan pemandangan yang cukup menghibur (jadi kan ga sedih-sedih banget walau judulnya isolasi dan perawatan).
Setelah menjalani perawatan, perlahan indra penciuman dan perasa saya kembali normal (kalau tidak salah indra penciuman saya kembali di hari ke-2 perawatan, begitu juga indra perasa). Yeay!!! Sekarang kalau makan udah ada rasanya.
Hari ke-10 saya menjalani tes PCR.
Hari ke-11 teman 1 unit saya pulang duluan, karena kami masuknya berbeda 1 hari.
Hari ke-12 saya diijinkan pulang. Alhamdulillah. Bu dokternya hanya pesan sebaiknya saya tetap siolasi mandiri di rumah selama 7-14 hari agar badannya lebih beradaptasi sebelum memulai aktivitas normal. Kemudian makan yang tinggi protein. Tetap konsumsi vitamin sesuai yang dianjurkan dokter, serta berolahraga ringan.
Sungguh, Desember 2020 benar-benar meninggalkan kenangan khusus untuk saya.
Dan ternyata hingga hari ini pun pandemi seolah masih enggan meninggalkan kita. Bahkan menurut informasi terbaru, virus Corona telah bermutasi menjadi varian baru, Omicron. Yang berdasarkan informasi dari WHO masuk dalam kategori variant of concern (varian yang diwaspadai) karena kemampuan menularnya yang jauh lebih cepat dibanding varian sebelumnya.
Selama kondisi masih belum normal, tahan-tahan dulu untuk bepergian yang ga perlu ya… jangan ngumpul-ngumpul dulu deh, tetap disiplin sama protokol kesehatannya, jaga kesehatan, olahraga, dan jangan lupa tetap bahagia supaya imunitasnya tetap baik.
Notes:
Makasih banyak untuk semua teman-teman yang udah support selama saya sakit, gegara kalian kulkas selalu penuh penghuninya, kiriman-kiriman kalian sungguh bikin tambah bahagia (dan tambah “berisi”) 😀