Gunung Ijen bagi saya menyimpan begitu banyak misteri. Dua kali mengunjunginya, rasanya masih belum puas juga. Dan rasanya ga habis-habis sudut Ijen untuk dieksplor.
Pertama ke Ijen, saya cukup surprise mendengar cerita dari pak Wito (guide saya waktu itu) tentang kehidupannya sebagai penambang belerang. Waktu saya tanya berapa banyak belerang yang didapat setiap harinya, pak Wito menjawab “Ya kadang-kadang bisa 2 hingga 3 kali turun mbak”. Dan tahu ga sih berapa berat belerang yang harus dipikul dalam sekali turun? Bisa 40 – 80 kilo sekali jalan! What???
Saya yang naik tanpa membawa beban saja, rasanya bingung mengatur antara napas dan dengkul yang gemetaran. Sementar para penambang itu bisa 2-3 kali turun naik dengan memikul sekitar 70 – 80 kilo belerang! Ga kebayang!
Dan begitu mendengar berapa harga belerang yang mereka hasilkan per kilonya, saya lebih terkejut lagi. Jadi harga 1 kg belerang saat itu hanya sekitar Rp 1.200! Iya, hanya seribu dua ratus rupiah saja! Coba dikalikan, berapa penghasilan mereka perharinya? Misalkan, mereka bisa membawa belerang sekitar 80 kilo sekali jalan, dikalikan 3, artinya dalam sehari mereka mengangkut 240 kilo belerang. Kemudian dikalikan Rp 1.200, hanya menghasilkan Rp 288.000 saja! Ini cerita pak Wito saat saya pertama kali ke Ijen di tahun 2015.
Bandingkan dengan perjuangan mereka menuruni trek jalanan tanah berbatu lepas yang kadang apabila tidak berhati-hati bisa terpeleset, di tengah gelap malam, udara dingin, belum lagi ancaman asap belerang yang beracun. Dinginnya Ijen di tengah malam menjelang subuh itu bisa mencapai 3 derajat! Belum lagi perlengkapan mereka hanya seadanya, seperti sepatu boots plastik, jaket, sarung dan senter untuk penerangan, alat menambangnya pun hanya mengandalkan linggis.
Saat ke Ijen untuk yang ke-2 kalinya, saya bertemu pak Suroso, seorang tour guide yang dulu juga bekerja sebagai penambang belerang. Namun karena penghasilan dari menambang belerang semakin tidak menentu, akhirnya pak Suroso memilih menjadi tour guide.
Dari cerita mereka, saya mendapatkan informasi bahwa waktu terbaik untuk menambang belerang adalah saat dini hari, saat udara yang berasal dari kawah yg mengandung H2S (hidrogen sulfuda) belum bertiup mengarah ke lokasi penambangan. Gas H2S ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat menyebabkan sesak napas bahkan kematian.
Masih serupa dengan cerita pak Wito, saat ini pun setiap penambang mampu membawa 70-80 kg belerang untuk 1 kali jalan. Belerang mereka bawa dengan menggunakan keranjang bambu sederhana. Asal tau, harga belerang itu di tahun 2019 ini per kilo hanya Rp 2.000! Kebayang ya berapa penghasilan mereka per harinya. Setiap hari harus mendaki Ijen yang tingginya 2443 m, kemudian harus menuruni bebatuan menuju kawah sekitar 800 m utk mencapai lokasi penambangan.
Nah, saat ini agar penghasilannya bertambah, banyak dari penambang belerang tersebut yang membentuk olahan belerangnya menjadi berbagai bentuk hewan lucu untuk kemudian dijual pada wisatawan yang berkunjung ke Ijen. Pekerjaan berbahaya dengan penghasilan yang tak seberapa, namun tetap harus dijalani demi kelangsungan hidup.