Ketika akan berkunjung ke Phnom Penh, saya menemukan sebuah artikel yang berisikan cerita sedih dan kelam bagi masyarakat Kamboja, Cheoung Ek the Killing Field! Baris demi baris artikel tersebut saya telusuri, ternyata kisah itu benar-benar kelam.
Saya tiba di lokasi Cheoung Ek sekitar pukul 9 pagi waktu setempat. Terletak di Roluos Village, Sangkat Cheung Aek, Phnom Penh, Cambodia, sekitar 15 km sebelah barat daya kota Phnom Pehn, lokasi ini pernah dipopulerkan dengan film berjudul “Killing Filed”. Apabila berkendara dari pusat kota Phnom Penh, akan menempuh waktu sekitar 30-40 menit. Sejak tahun 1988 Cheoung Ek dibuka untuk umum dan menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan tragedi di Phnom Pehn yang cukup banyak diminati pengunjung. Cheoung Ek buka setiap hari mulai pukul 7.30 am – 5.30 pm.
Cheoung Ek pada dasarnya merupakan lokasi pemakaman massal bagi sekitar 17.000 rakyat Kamboja (pria, wanita, anak-anak, bayi, termasuk 9 orang asing) yang dihukum, disiksa dan dibunuh oleh kelompok Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot dalam kurun waktu sekitar 3 tahun (1975 – 1978). Maka tidak heran, saat kaki saya memasuki lokasi ini aura yang terasa adalah aura kesedihan, suram, dingin, sepi, sunyi, walaupun pengunjung saat itu cukup banyak. Karena ingin mendapatkan ceritanya secara detil, saya sengaja menyewa audio yang berisikan cerita tentang Cheoung Ek seharga USD 3. Berbekal brosur dan audio, saya mulai berkeliling area mengikuti peta yang diberikan.
Saya memulai kilas balik sejarah kemanusiaan ini dari poin 1, di mana pada lokasi pertama ini diceritakan bagaimana Pol Pot dan pasukan Khmer Merahnya melakukan longmarch menuju kota Phnom Penh pada tanggal 17 April 1975. Ilustrasi yang menceritakan Pol Pot dan pasukan Khmer Merahnya memberikan gambaran apa yang terjadi pada saat itu.
Dari poin 1, saya kemudian menuju poin 2. Di poin ini terdapat tanda sebagai tempat berhentinya truk-truk yang membawa penjaga serta algojo pasukan Khmer Merah. Ilustrasi yang terpasang menunjukkan bagaimana para penjaga dan algojo-algojo tersebut bersiap untuk melakukan eksekusi terhadap para tahanan.
Poin 3 merupakan ruang tahanan yang dibentuk sedemikian rupa tanpa adanya celah untuk cahaya dari luar. Ruang tahanan ini dikenal sebagai Dark and Gloomy Detention. Tahanan yang dimasukkan ke dalam ruangan ini tidak akan bisa membedakan antara siang dan malam karena suasananya yang sangat gelap tanpa secercah cahaya pun.
Beranjak ke poin 4, ini merupakan lokasi kantor bagi para algojo berkumpul. Di sini lah para algojo tersebut memutuskan cara apa yang akan mereka gunakan untuk menghukum para tahanan. Tidak jauh dari poin 4 kita akan menemukan poin 5 yang merupakan bangunan bekas kantor upacara Cina. Tepat di depan poin 5, terdapat poin 6 yang dulu merupakan ruang penyimpanan bahan-bahan kimia yang digunakan oleh pasukan Pol Pot untuk melakukan pembunuhan massal.
Kaki saya melangkah semakin jauh memasuki komplek The Killing Field dan tiba di poin 7. Ini merupakan lokasi pemakaman massal yang letaknya paling dekat dengan bekas bangunan-bangunan penting seperti yang telah saya ceritakan. Di sini ditemukan sekitar 450 orang korban pembunuhan. Di depan lokasi poin 7 ini terdapat lokasi bekas bangunan tempat penyimpanan alat-alat penyiksaan yang digunakan oleh pasukan Khmer Merah untuk menyiksa para tahanan (poin 8).
Di samping poin 8, terdapat poin 9 lokasi tempat ditemukannya makam Cina serta fragmen tulang dan gigi. Tentu saja jumlahnya tidak sedikit. Suasana di siang itu saya rasakan semakin dingin, dan audio yang menceritakan secara detil kejadian apa saja yang terjadi di setiap poin yang saya lewati menambah rasa nelangsa di hati. Perasaan sedih, getir, sepi, kosong berkecamuk di dada, sakit!
Beranjak ke arah kanan dari poin 9, saya menemukan sebuah lokasi yang dulunya merupakan kebun Lengkeng (poin 10). Di kebun ini para tahanan harus bekerja hingga maut menjemput. Dari poin 10 saya menyusuri jalanan kecil dari kayu sembari mendengarkan sebuah ode “A Memory from Darkness” oleh Him Sophy. Ada perasaan teriris, perih yang mengiringi langkah kaki saya menyusuri jalanan kecil itu.
Saya tiba di poin 12 yang menceritakan beberapa tahanan yang berhasil selamat dari pembantaian di sana walaupun dengan berbagai kondisi yang sangat memprihatinkan, kehilangan anak, menjadi saksi pembantaian, korban pemerkosaan, mereka yang ditangkap dan dijemput paksa dari rumahnya, melihat bagaimana sepupunya dibunuh di depan matanya, ditangkap dan dipukuli hingga selamat oleh pengorbanan orang asing, hingga melarikan diri ke Amerika dan kembali untuk membalas dendam dan penyembuhan.
Poin 13 merupakan lokasi pemakaman massal yang menurut saya sangat tidak manusiawi. Di lokasi ini ditemukan 166 korban tanpa kepala! Artinya mereka dibunuh dengan cara dipenggal. Mendadak dada saya sakit, rasanya seperti mau pecah.Di seberang poin 13, saya melihat sebuah kotak kaca besar (poin 14) yang berisikan pakaian-pakaian korban. Di lokasi ini juga terdapat keterangan tentang pasukan Khmer Merah yang dihadapkan pada pengadilan di PBB karena tindakan-tindakannya yang di luar batas kemanusiaan. Juga terdapat keterangan bagaiana tahun-tahun terakhir Pol Pot.
Berjalan beberapa meter, saya tiba di poin 15. Sebuah pohon besar yang dipenuhi oleh gelang warna-warni yang sangat mencolok, The Killing Tree. Dari headset yang terus menempel di telinga, saya mendengarkan pengakuan seorang pembunuh yang merupakan mantan Direktur Penjara Duch di Choeung Ek. Pohon yang dipenuhi dengan gelang warna-warni tersebut merupakan saksi bisu kekejaman mereka terhadap tahanan anak-anak dan bahkan bayi. Dari audio terdengar suara bayi menangis, dan pengakuan bagaimana para algojo kemudian melempar dan membanting tubuh-tubuh mungil itu ke batang pohon hingga menemui ajalnya. Seketika kaki saya seperti lengket menempel di tanah. Suara yang saya dengar dari headset terasa sangat nyata. Bahkan suara “buk” saat audio menceritakan bagaimana tubuh-tubuh kecil itu menghantam pohon membuat mata saya otomatis menatap nanar ke arah batang pohon besar yang ada di depan saya. Isi kepala saya seolah melihat visualisasi peristiwa itu dengan jelas. Suara jeritan bayi-bayi mungil itu terus terngiang-ngiang di telinga saya. Jangan ditanya bagaimana sakitnya dada saya. Rasanya ingin marah!
Hingga saya melangkah menjauhi pohon itu pun, dada saya masih terasa sangat sakit.
Tiba di poin 16, area Glass Box. Di sini saya melihat sisa tulang-belulang dan gigi dari para korban yang diletakkan di dalam sebuah kotak kaca. Poin ini dikenal dengan nama Spirit House. Dari lokasi Spirit House, kaki saya melangkah ke arah kiri, poin 17. Di sini terdapat sebuah pohon besar yang disebut The Magic Tree.
Perjalanan flashback saya berakhir di sebuah bangunan monumen yang tidak terlalu besar namun menyimpan begitu banyak kesedihan. Poin 18, Memorial Stupa. Di dalam bangunan memorial ini terdapat 17 tingkat rak kaca yang berisikan tengkorak dari para korban pembantaian. Jangan ditanya bagaimana rasanya saat saya memberanikan diri untuk berkeliling ruangan ini. Bukan, bukan rasa takut yang saya rasakan! Tapi lebih ke rasa marah, kesal, pedih, perih! Kepala saya tidak berhenti berpikir, bagaimana bisa ada manusia yang bisa melakukan kejahatan yang sudah sangat di luar nalar ini. Speechless!
Selesai melihat Memorial Stupa, kaki saya melangkah menuju bangku kayu yang ada di bawah pohon di samping bangunan. Saya perlu menenangkan diri dan hati. Duduk, diam, berkali-kali menghela napas sambil meredakan emosi yang sejak tadi berkecamuk. Beberapa menit berusaha healing, barulah saya berhasil meredakan beragam perasaan yang tadi campur-aduk. Sungguh, berkeliling Cheoung Ek sambil mendengarkan sejarahnya benar-benar membuat saya kehilangan mood untuk tersenyum hari itu.
Oh iya, apabila ingin berkunjung ke Cheoung Ek, ada beberapa rules yang sebaiknya dipatuhi, antara lain, berpakaian yang sopan, tidak berbicara dengan suara yang keras, dan tidak merokok selama mengelilingi kawasan ini. Bagi saya sendiri, sejak memasuki komplek Cheoung Ek, tidak ada kata-kata yang bisa saya ucapkan. Saya hanya bisa melangkah dalam diam, mendengarkan audio dan menahan airmata.
Sekarang, setiap tanggal 9 Mei masyarakat Kamboja memperingati tragedi Cheoung Ek. Sebuah kisah kelam yang menorehkan luka dalam pada kemanusiaan.