“Kita camping yuk! Nenda”.
Itu kalimat ajakan yang dilontarkan oleh seorang teman dan langsung saya iyakan tanpa berpikir panjang.
Dan di sini lah saya. Jarum jam belum menunjukkan pukul 7 pagi ketika kaki saya menapaki halaman Stasiun Paledang di kota Bogor. Ya, pagi itu saya sedang menunggu kereta api Pangrango yang akan mengantarkan saya ke Sukabumi.
Suasana di Stasiun Paledang pagi itu sudah cukup ramai. Terlihat beberapa rombongan trip yang juga berencana untuk bertamasya ke kota Sukabumi. Dari beberapa obrolan yang sempat terdengar, mereka berencana ke jembatan gantung di Situ Gunung dan curug.
Pluit tanda kedatangan kereta berbunyi, dan sederetan gerbong kereta api Pangrango tiba di peron pada pukul 07.30 wib. Penumpang terlihat bermunculan dari pintu-pintu kereta. Suasana di stasiun mulai hiruk-pikuk oleh kedatangan penumpang yang cukup ramai. Setelah menurunkan penumpang, kereta api tidak langsung menaikkan penumpang yang akan berangkat ke Sukabumi. Kereta api akan berjalan dulu menuju Stasiun Bogor untuk berhenti sejenak. Dan tepat pukul 07.45 wib kereta api Pangrango kembali ke Stasiun Paledang untuk menaikkan penumpang dan kembali berjalan menuju Sukabumi.
Kereta api Pangrango melayani rute Sukabumi – Bogor pulang pergi dengan 3 kali pemberangkatan. Adapun kelas kereta yang tersedia ada 2 macam, yaitu kelas eksekutif dengan tiket seharga Rp 80.000 untuk 1 kali perjalanan dan kelas ekonomi AC seharga Rp 35.000 untuk 1 kali perjalanan. Sebagai informasi, apabila ingin menggunakan moda transportasi kereta api, usahakan untuk membeli tiket jauh-jauh hari. Karena kapasitasnya sangat terbatas.
Saya, karena rencana jalan-jalan ke Sukabumi ini adalah rencana dadakan (yah.. walau ga mendadak-mendadak juga) akhirnya harus puas dengan tiket kereta kelas ekonomi AC. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kelas ekonomi. Hanya saja, saya termasuk orang yang lebih senang untuk tidur selama di perjalanan, menggunakan kereta ekonomi ini membuat sedikit tidak nyaman karena saya harus duduk berhadapan dan bersebelahan dengan orang asing. Lutut akan bertemu dengan lutut orang lain yang duduk di depan kita. Sehingga untuk tidur pun terasa tidak nyenyak.
Karena seat saya kebetulan persis di pinggir jendela, perjalanan hampir 2 jam itu tidak terlalu banyak saya manfaatkan untuk tidur, pemandangan di sepanjang perjalanan ternyata lebih menarik. Dari jendela di sisi kanan kereta saya bisa melihat deretan gunung dan bukit yang terlihat hijau dan berdiri gagah. Perkampungan penduduk terlihat cukup padat. Di beberapa area terlihat sawah yang menghijau dengan bulir-bulir padi yang sedikit merunduk pertanda hampir siap untuk dipanen.
Pukul 09.43 wib pluit kereta berbunyi dan petugas memberitahukan bahwa kereta telah tiba di Stasiun Cisaat. Ya, saya turun di Stasiun Cisaat, stasiun yang letaknya paling dekat dengan lokasi camping ground yang akan saya datangi. Oh iya, karena ajakan awalnya adalah berkemah, tapi saya dan teman tidak mau repot dan harus menggotong-gotong tenda dan perlengkapan lainnya, kami memutuskan untuk tetap berkemah namun dengan fasilitas yang telah disediakan oleh pengelola. Pilihan kami jatuh pada camping ground Tanakita.
Di halaman Stasiun Cisaat telah menunggu sebuah angkot bewarna merah yang kami sewa seharga Rp 100.000 untuk 1 kali perjalanan dari stasiun menuju Tanakita. Perjalanan dari Stasiun Cisaat menuju Tanakita ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. Setibanya di Tanakita, setelah melaporkan kedatangan kepada petugas, kami pun diantarkan ke tenda hijau yang terletak persis di samping bangunan mushola yang akan menjadi tempat kami menginap malam ini.
Menikmati pemandangan pepohonan hijau, kabut tipis serta udara yang segar, membuat saya betah berlama-lama di sebuah gazeebo yang ada di sudut halaman. Rencananya, setelah makan siang saya akan diantar oleh guide dari Tanakita menuju danau untuk berjalan-jalan. Namun sayang, saat makan siang sedang berlangsung, hujan turun cukup deras. Walhasil, saya hanya duduk-duduk di gazeebo sambil menikmati sejuknya udara dan kabut putih yang semakin tebal.

Saya lihat beberapa kelompok yang juga menginap di Tanakita bergerak ke halaman, memakai jas hujan warna-warni dan payung, dan kemudian berjalan meninggalkan halaman menuju area danau. Saya? Tentu saja lebih memilih menikmati hujan dan udara dingin ini. mencium harum tanah basah, wangi tumbuhan hijau yang terlihat semakin segar tersiram air hujan dan berbalut kabut. Jadilah sore ini saya habiskan dengan duduk-duduk di gazeebo sambil menikmati minuman hangat dan sepiring camilan panas berupa singkong goreng dan pisang aroma, dan berakhir dengan menggulung diri di dalam sleeping bag yang ada di tenda.
Sekitar pukul 7 malam, saya diberitahu bahwa hidangan makan malam telah siap. Duh… entah kenapa, setiap berada di daerah yang suhunya dingin, saya selalu merasa lapar 😀
Tanpa menunggu kali kedua, saya langsung beranjak menuju area makan di halaman utama Tanakita. Menu malam ini terasa istimewa. Nasi panas, ikan bakar, gepuk, sayur sop, lalapan dan buah-buahan telah terhidang lengkap di atas meja. Cleguk, saya menelan ludah melihat deretan hidangan yang masih mengepulkan asap itu. Makan malam ini terasa sangat nikmat, ditambah tampilan lagu-lagu akustik, perfecto!
Setelah makan malam, sedikit bercengkerama dengan pengunjung lainnya, dan membersihkan diri, saya kembali ke tenda dan masuk ke dalam hangatnya sleeping bag. Ssstttt… ayo tidur, besok kita akan menjelajahi Situ Gunung.
Sedikit informasi mengenai fasilitas yang saya dapatkan di Tanakita, menginap di Tanakita ini dikenai biaya sebesar Rp 550.000 per orang sudah termasuk 3x makan (makan malam, sarapan, makan siang), 2x camilan, free flow aneka minuman, guide yang akan menemani kita berkeliling di sekitar area Tanakita, tenda lengkap dengan kasur, bantal dan sleeping bag, serta permainan flying fox.
tempat kempingnya terlalu bagus itu. hhe
terakhir saya berkemping itu jaman kuliah di daerah bandung. berarti sudah berapa tahun lalu ya.
Halo,
ini memang glamping camp konsepnya, jadi fasilitasnya memang lebih bagus daripada camping dan nenda yang biasanya 🙂