Bukittinggi – Menguak Tabir Lobang Jepang, Benteng Fort de Kock, Jembatan Limpapeh, Taman Margasatwa Wisata Kinantan sampai Jam Gadang
by
Evy Priliana Susanti
Posted on
icon Kota Bukittinggi
— Masih Day-1 —
Ini lanjutan cerita perjalanan setelah rombongan mengunjungi Puncak Lawang. Kami memasuki Kota Bukittinggi menjelang sore, lumayan jauh juga perjalanan dari Puncak Lawang ke Bukittinggi. Tujuan pertama di Kota Bukittinggi ini adalah Panorama. Panorama ini boleh dibilang adalah sebuah taman hiburan. Di dalam kompleksnya terdapat taman margasatwa (gw sih biasanya bilang itu kebun binatang), Lobang Jepang, benteng Fort de Kock, deretan toko-toko yang menjual suvenir, dan juga view Ngarai Sianok dari kejauhan.
Ditemani rintik gerimis, dan suasana sore yang basah, langkah kaki kami mengarah ke area Lobang Jepang. Eh… sampe di mulut Lobang Jepang, koq rame orang bergerombol??? Kirain ada apa, ternyata…. penerangan di lokasi Lobang Jepang sedang padam. Gelaaaaaaaaaappppppp….
Tangga yang merupakan pintu masuk ke Lobang Jepang
Kasak-kusuk nih sama teman-teman “Masuk ga? Klo masuk kan gelap, gimana dunks?”
Udah terlanjur berbasah-basah dan dingin begini ya… udah beli tiket dan udah sampe di mulut lobang, mana kita kan datengnya dari jauh… nyebrang laut lho pake kapal terbang… tanggung aaaahhhh… yuk, kita masuk aja! Lagian kan si uda guide-nya juga ngebawain emergency lamp. Akhirnya kami sepakat tetap masuk ke Lobang Jepang dalam keadaan gelap, dengan penerangan dari emergency lamp.
Bagian dalam Lobang Jepang
Untuk memasuki Lobang Jepang, kami harus menuruni sederetan anak tangga. Posisinya cukup curam, sehingga uda guide pun menyarankan kami untuk mengambil posisi di tengah anak tangga dan berpegangan tangan… eh maksudnya berpegangan pada besi pembatas tangga. Pelan-pelan gw menuruni anak tangga itu, sambil tetep pegangan ke besi yang ada di sisi kanan. Udara dingin dan lembab menyeruak dari dalam lobang. Semakin ke bawah terasa semakin adem 😀
Beruntung gw tadi di mobil sebelum turun sempet nyamber jaket, jadi ga terlalu dingin deh….
Lorong yang gelap dan panjang ini hasil kerja keras para romusha
Ini ada sedikit cerita tentang Lobang Jepang based on what “uda” told us.
Lobang Jepang dibuat sekitar tahun 1942-1945 pada masa penjajahan Jepang dengan mengerahkan tenaga kerja romusha yang diambil dari penduduk Indonesia yang berasal dari luar Pulau Sumatera. Kenapa harus dari luar Pulau Sumatera? Alasannya sangat simple, karena penduduk dari luar Pulau Sumatera tidak mengenal daerah Bukittinggi, dan klo pun mereka kabur, mereka ga bisa berkomunikasi dengan penduduk lokal. Cerdas ya itu Jepun-Jepun…
Di dalam lobang Jepang ditemukan ruangan-ruangan (biasanya disebut lorong) dengan fungsi sebagai berikut:
– 6 ruangan amunisi;
– 12 ruangan barak prajurit;
– 1 ruang dapur;
– 1 ruang rapat;
– 1 ruang makan romusha; – 1 ruang penjara
– 3 pintu emergency/pelarian.
Salah satu ruang amunisi dari 6 ruangan serupa
Lobang Jepang ini panjangnya 5.5 km, namun yang sekarang difungsikan sebagai obyek wisata baru sepanjang 1475 meter, artinya masih ada sekitar 4025 meter lagi Lobang Jepang yang membentang di bawah Kota Bukittinggi yang belum dibuka untuk umum karena pertimbangan keamanan (sirkulasi udara yang belum memadai apabila difungsikan sebagai obyek wisata).
Nah… karena 40% Kota Bukittinggi memiliki Lobang Jepang, maka di Bukittinggi tidak ada bangunan yang tingginya lebih dari 5 lantai dengan alasan safety. Selain di Bukittinggi, ternyata masih ada 2 Lobang Jepang lagi yang ada di Indonesia, yaitu di Bandung (daerah Dago Pakar) dan Papua (di bawah Kota Biak). Kebayang ga sih seandainya Jepang ga kalah perang? Dan Kota Hiroshima – Nagasaki-nya ga dibom atom oleh sekutu??? Bisa jadi semua kota yang ada di Indonesia ini, ada Lobang Jepang-nya semua lho……. kyaaaaaaaaaaaaaaa…..
Lobang Jepang dengan dinding batu cadas/gunungnya
Ruangan-ruangan atau lorong-lorong yang ada di dalam Lobang Jepang masing-masing panjangnya 29 meter. Dan lorong-lorong tersebut letaknya paralel satu sama lain, dan saling berhubungan. Hal ini disengaja oleh Jepang dengan alasan apabila ada romusha yang berusaha melarikan diri akan tersesat dan berputar-putar dari lorong satu ke lorong yang lain tanpa bisa mencapai pintu keluar. Jarak antara lorong satu dengan lorong lainnya hanya sekitar 5-6 meter. Lobang Jepang ini dinding dan tanahnya merupakan batu cadas/batu gunung, sehingga kedap air, dan diperkirakan juga tahan terhadap getaran bom. Pembuatan Lobang Jepang itu sendiri hanya menggunakan peralatan sederhana berupa cangkul, linggis dan pahat. Siapa yang membuat Lobang Jepang??? Ya tentu saja para romusha yang diculik oleh Jepang dan kemudian dipekerjakan secara paksa tanpa imbalan! Sebel yak??? #pasangtaring
Tinggi lobang Jepang hanya sekitar 1 meter 70 centi, hal ini disesuaikan dengan tinggi postur prajurit Jepang pada saat itu yang ga terlalu tinggi.
Ini ruangan penjara yang menjadi tempat penyiksaan para romusha
Di Lobang Jepang ini ada juga 1 ruangan yang dulunya difungsikan sebagai ruang makan para romusha, karena pada saat ditemukan terdapat peralatan-peralatan makan berupa gelas yang terbuat dari bambu dan piring dari batok kelapa…. whuaaaaaaa… hiks… kasian bener yaaa… para romusha itu… #prayforthem
Ruangan yang paling besar di Lobang Jepang ini diperkirakan dulu difungsikan sebagai ruangan meeting, karena pada saat ditemukan terdapat bekas-bekas pembakaran berkas/dokumen, meja-meja besar dan kursi-kursi.
Lubang pembuangan… (entah sudah berapa ribu tubuh romusha yang dibuang melalui lubang ini langsung terjun bebas ke Sungai Ngarai Sianok)
Ruang penjara yang ada di Lobang Jepang ini panjangnya lumayan juga, sekitar 42 meter. Fungsinya bukan untuk menahan orang lho… tetapi sebagai tempat penyiksaan bagi romusha-romusha yang dianggap melawan terhadap Jepang (huhuhuhuhu… kejam banget… #lapairmata).
Jadi, romusha-romusha yang dianggap ga nurut terhadap Jepang (ya iya lah… ngapain juga nurut sama penjajah???) akan disiksa di ruangan penjara selama 1 atau 2 hari. Kemudian akan dibawa ke ruangan “dapur”. Ruangan ini bukan “dapur” beneran lho… tapi hanya kamuflaseJepang supaya para romusha itu ga curiga. Aslinya ruangan ini adalah ruangan untuk eksekusi!!!
Jadi romusha yang udah disiksa dibawa ke ruangan ini, untuk selanjutnya dieksekusi, dihabisi dan kemudian mayatnya dibuang melalui lubang pembuangan yang ada di sudut dapur. Lubang pembuangan itu sendiri panjangnya 72 meter yang berujung pada sungai Ngarai Sianok. Kenapa mayat dari para romushaitu justru dibuang melalui lubang pembuangan??? Ternyata jawabannya adalah, karena lubang pembuangan itu berujung pada Sungai Ngarai Sianok, maka apabila ada mayat yang hanyut tidak akan memancing perhatian penduduk, karena akan disangka mayat dari peperangan (kan waktu itu Indonesia sedang perang melawan Jepang).
Pintu pengintaian, tempat prajurit Jepang mengintai penduduk pribumi
Di atas lubang pembuangan terdapat lubang pengintaian sepanjang 20 meter ke arah atas. Dari lubang pengintaian itu dulu prajurit Jepang melakukan pengamatan dan pengintaian terhadap penduduk Bukittinggi sebelum kemudian melakukan penyergapan, baik itu untuk hasil buminya, maupun untuk tenaga pekerja paksa (tapi untuk pekerja paksa, apabila yang tertangkap adalah masyarakat lokal, maka langsung dibunuh dengan alasan keamanan).
Di dalam Lobang Jepang terdapat beberapa pintu emergency atau pelarian yang sesuai rencana Jepang akan digunakan untuk prajuritnya melarikan diri apabila terjadi penyergapan dari tentara sekutu maupun rakyat Indonesia. Namun karena keberadaan Lobang Jepang itu baru diketahui pada tahun 1946, setelah dibom atomnya Kota Hiroshima dan Nagasaki, pintu pelarian itu belum pernah digunakan oleh Jepang.
Salah satu lorong menuju pintu pelarian
Pintu pelarian yang tembus ke arah Ngarai Sianok
Dinding Lobang Jepang dibuat tidak rata, tetapi berlekuk-lekuk, kenapa demikian? Ternyata hal itu disengaja, pertama untuk tempat penyangga obor karena dulu penerangan di dalam lobang hanya menggunakan obor (secara ya cyiiiinnn… blom ada listrik kan dulu…). Kedua, ternyata permukaan dinding yang tidak rata itu juga berfungsi sebagai peredam suara, sehingga suara-suara yang timbul pada saat pembuatan Lobang Jepang tidak terdengar ke luar. Begitu juga dengan suara-suara teriakan para romusha yang disiksa dan dihabisi, tidak terdengar keluar.
Hingga saat ini, ada 2 pertanyaan besar yang belum terjawab terkait dengan keberadaan Lobang Jepang di Kota Bukittinggi ini:
Berapa banyak romusha yang meregang nyawa dalam proses pembuatan Lobang Jepang? Karena pada saat ditemukan, terdapat beribu-ribu kerangka manusia di sana.
Untuk Lobang Jepang sepanjang 5.5 kilometer, ke mana tanah galiannya dibuang?
Sampai detik ini pun 2 pertanyaan itu blom ada yang bisa jawab, karena tidak ada saksi hidup pada saat penemuan Lobang Jepang di tahun 1946.
Relief di pintu keluar Lobang Jepang
Relief di pintu keluar Lobang Jepang
Hmm… cerita Lobang Jepangnya sampe di sini aja ya… bonusnya ini gw share beberapa foto bagian dalam Lobang Jepang dan relief yang ada di pintu keluar Lobang Jepang (liat relief-nya aja udah kebayang gimana penderitaan para romusha itu waktu menggali Lobang Jepang #whuaaa #tissuemanatissue).
Relief kekejaman Jepang terhadap penduduk pribumi
Relief kekejaman Jepang terhadap penduduk pribumi
Penunjuk Lokasi Benteng Fort de Kock
Benteng Fort de Kock
Beres explore Lobang Jepang, selanjutnya gw dan teman-teman mo liat Benteng Fort de Kock dan Jembatan Limpapeh yang kebetulan berada dalam 1 lokasi yang sama.
Dalam bayangan gw, yang namanya benteng itu adalah sebuah bangunan gede dari beton, tinggi, kokoh menjulang dengan lubang-lubang pengintaian, dan meriam-meriam yang siap memuntahkan pelurunya. Ternyata Benteng Fort de Kock ini hanyalah sebuah bangunan beton kira-kira berukuran 6×6 meter dengan tinggi sekitar 7-8 meter.
Gw hanya melihat benteng ini dari luar, tanpa mencoba untuk naik ke atasnya.
Prasasti batu berisi sejarah Benteng Fort de Kock
Meriam di pelataran Benteng Fort de Kock
Jembatan Limpapeh, merentang megah membelah Jl. Ahmad Yani Kota Bukittinggi di bawahnya
Jembatan Limpapeh
Perjalanan lanjut terus ke Jembatan Limpapeh. Jembatan Limpapeh ini merupakan sebuah jembatan gantung yang melintas di atas Jl. Ahmad Yani Bukittinggi, yang menghubungkan kawasan Benteng Fort de Kock dan Taman Margasatwa Budaya Kinantan. Panjang jembatan ini sekitar 90 meter, lebar 3.8 meter, dengan kawat-kawat baja yang terentang memegangi batang jembatan serta pelat-pelat aluminium pada permukaan jembatan.
Selamat datang di Rumah Adat Baanjuang
Rumah adat Baanjuang
Menyeberangi Jembatan Limpapeh, kami sampe di kawasan Rumah Adat Baanjuang. Dan sekali lagi gw melongo dengan mata berbinar-binar ngeliat desainnya. Masih ditemani gerimis cantik dan wangi tanah serta rumput basah (hmm…gw sangat suka suasana seperti ini), gw dan teman-teman mulai menaiki tangga rumah gadang ini. Rumah Adat Baanjuang hanya 1 lantai, di dalamnya penuh dengan etalase yang berisi miniatur pakaian adat dari berbagai daerah di Minangkabau, peralatan makan, perlengkapan upacara adat, berbagai senjata, dan masih banyak lagi. Di sisi kanan rumah gadang ini terdapat sebuah pelaminan, lemari untuk menyimpan senjata, dan beberapa perlengkapan adat lainnya.
Diorama kehidupan masyarakat Minangkabau (lumbung padi, aktivitas menumbuk padi, mengayak, dan bercocok tanam)
Di halaman rumah gadang terdapat patung wanita Minang yang sedang menumbuk padi, lengkap dengan lesung dan alunya. Ada juga bangunan lumbung padi, sepasang wanita-pria dengan pakaian adat Minangkabau di depan tangga rumah gadang, seolah-olah menyambut tamu yang akan berkunjung.
Beres explore Rumah Adat Baanjuang, kami pun bergerak kembali ke kawasan Panorama, nyamperin si unyu yang setia menunggu di sana. Huft….. baru hari pertama trip, kakinya udah berasa butuh rebonding…. pegel boooo…
Tujuan selanjutnya…… Hotel Grand Kartini…. yoi, malam ini kami akan nginep di situ, sambil melewatkan malam minggu di Kota Bukittinggi.
Ayo kita capcus ke hotel….. sapa tau bisa rebahan 1 atau 2 jam eh… menit ding 😀 Si unyu bergerak dari area parkir Panorama, menyusuri aspal basah. Ga pake lama, kami pun tiba di depan Hotel Grand Kartini. Ini nih penampakan papan namanya 😀 hehehehehe….
Di sini nih nginepnya
Sampe hotel, check-in, bagi kamar, gw kebagian kamar 303 sharing sama Rini. Ayo kita liat gimana suasana di dalam kamarnya…..
Eh…. kamar 303 itu artinya di lantai 3 kan ya??? Tapi ini mana lift-nya ya? Baiklah…. daripada ribet, mari kita lewat tangga aja… skalian olahraga 😀 huft…huft…huft… (sampe pulang pun, gw ga nemu dan ga nyari juga sih, di mana lokasi lift-nya).
Ternyata kamar gw persis di depan tangga lantai 3, sementara teman-teman yang lain masih harus jalan lagi lebih jauh… hehehehehe… lucky me waktu milih kamar langsung ambil nomor 303 😀
Baru juga naro carrier di pojokan kaman, trus ngelurusin badan, si Rini langsung kabur ke kamar mandi, mo mandi katanya. Tapi tiba-tiba tok-tok-tok pintu diketok dari luar. Haduuuuuhhhhh… sapa sih?????
Gw buka pintu, eh… udah ada Hendra di depan pintu dan bilang “Ayo jalan ke Jam Gadang”. Hahhhhhh???? Jalan lageeeeeee???
Rini dari kamar mandi nyembulin kepala dan langsung bilang “Kita jalan lagi? Aku ga jadi mandi deh” ahahahahahahahaha……. gw cuma bisa ngakak.
Jam 6 sore itu, ketika kami mulai menyusuri aspal basah, keluar dari hotel menuju Jam Gadang. Berjalan di emperan toko, berusaha menghindari tetesan air hujan, akhirnya kami sampai di lokasi Jam Gadang.
Finally, I’m Here! Yeah!!!
Oooooohhh… ini ternyata ikon Kota Bukittinggi yang terkenal itu???
Berdiri dengan kokohnya di tengah-tengah sebuah taman kota, dikelilingi dengan kompleks pasar tradisional yang berbaur dengan pasar modern dan pertokoan. Di kawasan Jam Gadang banyak gw liat pedagang asongan yang menjual aneka barang…. aneka makanan kecil, minuman, permainan anak-anak, dan lain-lain.
Yeaaaaayyyyyy….. gw ada di depannya lhooooo….. poto ah poto…..
Klo selama ini gw cuma liat gambar Jam Gadang dari inetdan foto-foto racun dari teman-teman yang udah pernah ke sini, kali ini gw bisa liat langsung!
Lupa dengan cerita gerimis yang tadi sempet bikin basah dan jalannya pake loncat-loncat, gw ga mau lagi kehilangan moment sore basah di depan Jam Gadang ini.
Cekrek… cekrek… gw berusaha motret Jam Gadang dari angle paling seksi 😀
Mumpung masih rada terang….
Trus mata gw mulai menelusuri susunan angka di jam yang unik itu…. bener lho…di Jam Gadang itu, angka 4-nya ditulis IIII, bukan IV!
Unik dan ga biasa penulisan angka di jam-nya.
Sejarah Jam Gadang perlu gw share di sini ga???
Hmm… gw share dikit kali ya….
Jam Gadang merupakan landmark Kota Bukittinggi. Dibangun di tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh putra pertama Rook Maker (Controleur pada saat itu) yang waktu itu berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).
Coba perhatiin angka 4-nya
Tinggi Jam Gadang ini adalah 26 meter. Konstruksi aslinya hanya berbentuk bulat dengan diameter 80 cm, ditopang basement dasar berukuran 13 x 4 meter.
Angka yang tertera di Jam Gadang itu juga unik. Angka IV-nya ditulis IIII. Dan yang perlu diketahui adalah, mesin penggerak Jam Gadang itu cuma ada 2 di dunia!!!
Tau dong yang 1 lagi ada di mana??? Yup, mesin kembaran Jam Gadang sampai saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin kedua jam itu bekerja secara manual, yang oleh pembuatanya, Forman, disebut Brixlion. Dan menurut cerita, pembangunan Jam Gadang itu dulu menghabiskan biaya sebesar 3.000 Gulden.
Seiring perjalanan sejarahnya, terdapat perubahan pada ornamen Jam Gadang. Pada masa penjajahan Belanda, ornamen jam berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Kemudian pada masa penjajahan Jepang, ornamennya diubah menjadi klenteng. Dan pada masa setelah kemerdekaan, ornamennya diubah menjadi berbentuk gonjong, rumah adat Minangkabau.
Cukup kan info tentang Jam Gadang dan perkembangannya? Foto Jam Gadang-nya cukup itu aja ya… honestly, gw rasanya pengen posting foto Jam Gadang banyak-banyak, karena diliat dari sudut mana pun, gagahnya tetap terlihat.
Hmm… trip hari pertama ke Minangkabau ditutup dengan makan malam di warung tenda. Dan ini lah kali pertama (beneran lho… gw blom pernah makan sate Padang sebelumnya) gw nyobain sate Padang yang asli Bukittinggi! Ditemani dengan seporsi Es Tebak (ga sempet difoto es-nya… keburu abis duluan :D).
Mari makan……..
Abis makan sate Padang, balik ke hotel, bersih-bersih, dan…….. mari bermimpi….
Suasana pagi di Jam Gadang
Eh eh, tunggu….. gw mo cerita dikit nih tentang Kota Bukittinggi, kan kemarin ceritanya gw malem mingguan di sana. Bukittinggi merupakan salah satu kota di propinsi Sumatera Barat. Pernah menjadi ibukota Republik Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia[Mestika Zed, Eddy Utama, Hasril Chaniago; Sumatera Barat di panggung sejarah, 1945-1995; Panitia Peringatan 50 Tahun RI, 1995]. Dahulu Bukittinggi disebut Fort de Kock, bahkan pernah dijuluki Parijs van Sumatra selain Kota Medan[bataviase.co.id Inilah Parijs van Sumatera. Diakses pada 26 Juni 2010].
Kota ini merupakan tanah kelahiran beberapa tokoh besar Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Assaat, yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat Presiden Republik Indonesia waktu ibukota Negara dipindahkan untuk sementara ke Bukittinggi.
Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk. Kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Yang paling terkenal dari kota ini adalah landmark-nya, yaitu Jam Gadang yang terletak di tengah kota dan sekaligus menjadi simbol kota yang juga berada di tepi lembah besar bernama Ngarai Sianok.
Istana Bung Hatta
Selain Jam Gadang, di Kota Bukittinggi kemarin gw juga mengunjungi eh, aslinya cuma liat dari luar pagar doang ding karena kepagian, dan gedungnya blom buka – Istana Bung Hatta. Kenapa disebut Istana Bung Hatta ya?
Patung Sang Proklamator di depan Istana-nya
Gedung ini berada tepat di seberang Jam Gadang, terkenal dengan sebutan Gedung Negara Tri Arga. Pada masa penjajahan Jepang, gedung ini merupakan kediaman Panglima Pertahanan Jepang (Seiko Seikikan Kakka), dan pada zaman revolusi fisik tahun 1946 gedung ini menjadi Istana Wakil Presiden RI pertama Drs. Mohammad Hatta. That’s why kenapa gedung ini dinamai Istana Bung Hatta.
Klo sekarang sih, gedung ini digunakan untuk kegiatan umum seperti seminar, lokakarya dan pertemuan tinggat nasional dan regional, dan juga sebagai rumah tamu Negara yang berkunjung ke Bukittinggi. Arsitektur gedung ini berciri khas kolonial. Cakep banget deh… walau gw cm bisa liat dari luar pagarnya aja 😀
Kota Bukittinggi sendiri di mata gw adalah kota yang lengang. Seneng banget berjalan kaki di Bukittinggi. Kendaraan ga se-crowded Jakarta, udaranya pun masih segar. Nyaman deh….
Jalanan yang lengang dan kompleks pertokoan
Jembatan Limpapeh di atas Jl. Ahmad Yani
Gw menikmati suasana kota di pagi hari, sambil melihat aktivitas warga. Ada yang senam pagi, berjalan-jalan bersama keluarga, berbelanja, ngobrol di taman Jam Gadang, sarapan pagi. What a beautiful city…..
Aktivitas pagi di Taman Jam Gadang
Nah… ini gw kasi bonusin sunrise yang berhasil gw capture dari Taman Jam Gadang….. really love it, and u???
Sunrise dengan siluet Gunung Singgalang
Nah… gw udah beres nih cerita Tour de Minangkabau Day-1, sekarang udah boleh bobo koq… Tapi….. cerita trip-nya blom finish lho….. masih ada Day-2, Day-3 dan Day-4. Jadi…… tungguin ya cerita gw selanjutnya……..
[…] Ga berlama-lama di Puncak Lawang, kami pun mulai kembali menuruni anak tangga batu menuju ke parkiran. Yuk, perjalanan harus dilanjutkan! Bukittinggi, kami datang….. Sesuai itinerary, malam ini akan kami lewatkan di Kota Bukittinggi. Si unyu mulai bergerak meninggalkan parkiran Puncak Lawang menyusuri hitamnya aspal menuju Bukittinggi. […]
test
[…] Ga berlama-lama di Puncak Lawang, kami pun mulai kembali menuruni anak tangga batu menuju ke parkiran. Yuk, perjalanan harus dilanjutkan! Bukittinggi, kami datang….. Sesuai itinerary, malam ini akan kami lewatkan di Kota Bukittinggi. Si unyu mulai bergerak meninggalkan parkiran Puncak Lawang menyusuri hitamnya aspal menuju Bukittinggi. […]