Setelah selesai ngubek-ubek Museum Angkut dan dapat bonus sunset yang cakep banget di Gunung Banyak, dan setelah kenyang meng-ayam kremes + bebek kremes dan bebek cobek, akhirnya kami back to Lily Guesthouse, untuk tidur…… yah, sekitar 1.5 jam lah sebelum dijemput oleh mas Bidin untuk menyambut sunrise di Bromo.
Kami tiba di guesthouse sekitar pukul 22.00 wib dan langsung bersih-bersih. Walaupun cuma punya waktu 1.5 jam, saya memutuskan untuk tidur dan mengistirahatkan tubuh yang sudah lumayan penat ini.
Tepat jam 23.40 wib, hp saya berbunyi, sebuah pesan dari mas Dani masuk “Aku di bawah yah”. Wah, udah dijemput untuk segera keliling Bromo! Ok mas Dani, kami turun!
Di bawah (kamar kami ber-5 ada di lantai 3 guesthouse) sudah menunggu dengan setia, mas Dani, Martha, mas Bidin dan mas Sukron yang akan mengantarkan kami berkeliling kawasan Taman Nasional Bromo – Tengger – Semeru. Hoollaaaaaa….. apa kabar semua??? Kali ini gantian mas Bidin dan mas Sukron yang akan menemani kami berkeliling.
Jam 00 teng, jeep putih dengan stiker OurTrip1st yang kami naiki mulai bergerak menyusuri dinginnya Kota Malang. Oh iya, ini kali ke-4 saya mengunjungi Malang, tapi baru ini merasakan dinginnya Malang yang menggigit sampai ke tulang. Mana anginnya rajin bertiup, membuat tangan saya harus rajin-rajin menaikkan kerah jaket untuk mengurangi dinginnya.
Rute yang kami lalui malam ini adalah rute Pasuruan. Menurut mas Sukron yang menjadi driver kami, untuk tiba di kawasan Bromo melalui rute Pasuruan membutuhkan waktu sekitar 2.5 jam. Lumayan jauh juga ya ternyata. Karena masih ngantuk, saya hanya bertahan selama 30 menit pertama, dan selanjutnya saya pun pulas tertidur di jok depan. Jalanan yang semula berupa aspal mulus, mulai berganti dengan jalanan beraspal kasar. Dan saya terbangun tepat pada saat jeep berhenti di depan pos penjagaan dan pembelian tiket untuk memasuki kawasan Taman Nasional Bromo – Tengger – Semeru.
Setelah melewati pos penjagaan, jeep yang kami tumpangi kembali menapaki jalanan beraspal kasar ke arah Penanjakan, lokasi yang umumnya didatangi pengunjung apabila ingin melihat sunrise yang akan muncul dari sisi kiri lokasi Gunung Bromo. Namun kali ini kami tidak akan ke Panajakan, tapi kami akan mencoba melihat detik-detik terbitnya matahari dari Bukit Kingkong.
Lokasi Bukit Kingkong sendiri sebenarnya searah dengan Pananjakan 1, lokasinya sekitar 2.5 km sebelum Pananjakan. Apabila kita menuju ke Pananjakan, lokasi Bukit Kingkong ini ada di sebelah kanan. Dan di tengah malam menjelang subuh itu, jam 02.30 wib kami sudah tiba di parkiran menuju Bukit Kingkong. Saya mencoba turun dari jeep untuk mengambil milkyway dan nightshoot-nya Malang. Baru saja membuka pintu jeep, bbrrrrrrrr….. udara dingin langsung menyergap wajah saya, membuat saya tergesa menaikkan syal merah ke arah wajah untuk mengurangi dingin. Tangan saya pun segera saya bungkus dengan sarung tangan biru yang telah disiapkan (hmm…. jadi mikir untuk membeli sepasang sarung tangan baru yang lebih tahan dingin, karena ternyata walau sudah dibungkus sarung tangan pun ternyata hawa dinginnya tetap membuat jari-jari saya kaku).
Saya mulai mengeluarkan tripod dan kamera walau dengan sedikit susah payah karena jemari yang kaku karena kedinginan. Saya bersikeras untuk tidak membuka sarung tangan pada saat setting kamera karena tidak kuat dengan dinginnya udara saat itu, dan hasilnya… saya cukup kesulitan untuk menekan tombol dan menggeser grid kamera. Setelah mendapatkan beberapa scene, saya pun segera kembali ke kabin jeep, ga tahan dengan udara yang sangat dingin ini. Walaupun ini adalah kali ke-3 saya ke kawasan Bromo, baru sekali ini saya merasakan udara yang sedingin ini. Jadi mikir, gimana rasanya ya jalan-jalan ke luar negeri di saat winter, yang suhunya bisa beberapa derajat di bawah nol???
Sekitar pukul 4 subuh, kami mulai menapaki paving block yang menjadi akses ke Bukit Kingkong. Jalanan beton selebar kurang lebih 1 meter ini akan mengantarkan kami menuju point untuk melihat sunrise di sana. Oh iya, untuk mencapai Bukit Kingkong sendiri jaraknya tidaklah terlalu jauh dari tempat parkir, hanya sekitar 200 meter. Setelah melewati paving block, kami kemudian harus melewati sedikit jalanan tanah berbatu untuk mencapai bukit. Dan itu dia, dalam malam yang diterangi cahaya purnama, terlihat sebuah titik kumpul yang mulai dipadati oleh pengunjung.
Saya segera mengambil posisi kosong yang persis mengarah ke Bromo dan Semeru. Memasang tripod dan kamera, dan kemudian mulai mencoba mengambil moment menjelang matahari terbit di Bromo. Di lautan pasir yang ada di bawah sana, terlihat lampu-lampu jeep berseliweran, membuat sebuah garis bercahaya apabila dilihat dari balik lensa kamera. Langit yang cerah dengan bulan yang bersinar terang cukup memberikan penerangan untuk Bromo dan sekitarnya. Hei, lihat…. di punggung Gunung Semeru terlihat beberapa titik cahaya yang bergerak menuju puncaknya. Ternyata di dalam udara yang sedingin ini, masih ada teman-teman kita yang sedang bergerak menuju puncak Mahameru. Semangat temen-temen, kalian pasti berhasil!!!
Ternyata, udara di Bukit Kingkong ini juga tidak kalah dinginnya dari udara di parkiran jeep tadi. Terbukti tangan saya yang semakin kaku, dan ujung hidung yang semakin beku. Tanpa bisa saya tolak, gigi pun mulai bergeletukan, ditambah kaki yang mulai gemetar. Haduh…… dingin banget subuh ini.
Saya berkali-kali memperbaiki letak syal yang saya kenakan untuk menghangatkan leher dan sebagian wajah. Dengan pakaian berlapis 3 ini, ternyata masih kurang nampol untuk menghalau udara dingin. Percaya atau tidak, saya menggunakan 2 lapis jaket lho. Sampai-sampai saya kesulitan untuk sekedar menggerakkan bahu dan leher karena rapatnya pakaian yang saya kenakan ini. Dan itu pun saya masih merasakan dingin yang teramat sangat.
Iseng-iseng Windy mencoba melihat aplikasi cuaca di Hp-nya, dan ternyata temperatur saat itu adalah sekitar 9-10 derajat! Pantesan aja dinginnya kayak gitu…..
Dari segi view, Bukit Kingkong letaknya lebih rendah daripada Pananjakan 1, jadi posisi Gunung Batok, Bromo, dan Semeru terlihat lebih dekat. Untuk tempatnya sendiri, bukit ini masih alami, kami berdiri di atas tanah berpasir halus dengan rumput dan perdu di sekelilingnya. Harus sangat berhati-hati apabila ingin lebih maju dari lokasi saya berdiri, karena hanya dengan mengandalkan cahaya dari bulan, di depan saya terbentang jurang yang ditumbuhi tanaman perdu rimbun dengan tanah berpasir yang mudah longsor. Agak serem sih kalau harus terlalu maju berdirinya.
Sambil menunggu matahari terbit di ufuk Timur, saya mulai mencoba mengambil beberapa scene Bromo – Semeru dalam balutan cahaya purnama di penghujung malam ini. Kabut yang melayang di atas lautan pasir memberikan sedikit suasana mistis subuh itu. Kabut putih yang bergerak perlahan, membungkus lautan pasir, membuat Gunung Batok dan Bromo seolah-oleh melayang di atas awan.
Suasana di Bukit Kingkong subuh itu lumayan ramai, namun tidak seramai Pananjakan 1, saya yakin! Sebagian besar adalah pengunjung lokal dan sisanya turis mancanegara. Dan ketika perlahan semburat jingga muncul di ufuk Timur, tangan-tangan berkamera pun segera terulur dan terarah ke Timur.
Perlahan, deretan gunung yang seolah melayang di atas gumpalan kabut itu pun semakin jelas terlihat. Batok, Bromo, Tengger, Semeru, terlihat berdiri kokoh di tengah-tengah lautan pasir yang luas.
Setelah langit semakin terang, kami pun berkemas untuk pindah posisi. Setelah dari Bukit Kingkong ini, kami akan mengunjungi Gunung Bromo. Berjalan menuju arah parkiran jeep, sekali-sekali saya menoleh ke belakang untuk menikmati setiap detik Bromo di waktu pagi. Pepohonan di Bukit Kingkong mulai terlihat jelas, dengan selarik-dua larik cahaya pagi yang menerobos dari sela-sela dedaunan.
Dari parkiran, jeep berbalik arah dan menderu menuju Bromo. Dan lagi-lagi saya bisa dengan cepatnya tertidur. Saya tersadar pada saat jeep berhenti di lautan pasir, sekitar 3 km dari puncak Bromo. Namun kali ini saya sudah memutuskan untuk tidak mendaki tangga menuju kawah, karena saya ingin meng-explore bangunan pura yang ada di tengah-tengah lautan pasir ini.
Oh iya, ternyata 2 malam yang lalu adalah peringatan Upacara Kasodo di pura tersebut. Sudah pernah dengar, atau baca mengenai Upacara Kasodo?
Upacara Kasodo, atau yang biasa disebut Yadnya Kasada digelar setiap Bulan Kasada hari ke-14 dalam kalender tradisional Hindu Tengger. Upacara ini merupakan kegiatan pemberian sesembahan dan sesajen kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur dari suku Tengger, yaitu Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putra Brahmana) yang merupakan leluhur dari suku Tengger ini. Upacara adat tersebut digelar di Pura Luhur Poten yang terdapat di tengah-tengah lautan pasir di kaki Gunung Bromo, pada tengah malam hingga dini hari. Upacara adat suku Tengger ini dimaksudkan untuk mengangkat dukun atau tabib dari setiap desa yang ada di sekitar Gunung Bromo. Pada upacara ini, suku Tengger akan melemparkan sesajen berupa sayuran, ayam dan bahkan uang ke dalam kawah Gunung Bromo.
Suku Tengger di sekitar Bromo ini dikenal sangat memegang teguh adat istiadat Hindu lama yang menjadi pedoman hidup mereka. Keberadaannya sangat dihormati oleh penduduk sekitar, terutama karena prinsip hidup mereka yang sangat jujur dan tidak iri hati. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Jawa Kuno. Suku Tengger tidak mengenal kasta bahasa, sebagaimana yang biasa terjadi pada masyarakat Jawa pada umumnya.
Dan pagi itu, ketika saya sampai di depan Pura Luhur Poten, masih terlihat sisa-sisa upacara semalam. Saya memasuki lingkungan pura yang sedang dalam proses pembersihan. Di halaman pura terlihat beberapa payung berwarna putih dan kuning, kain putih kuning yang membalut arca dan tempat sesajen, serta beberapa untaian janur. Memasuki area dalam pura, terlihat sehelai kain putih panjang, membentang dan membatasi sebuah area yang menjadi tempat prosesi utama Upacara Kasodo. Beberapa payung kotak-kotak hitam putih, kuning, merah dan putih terlihat dipasang menggunakan tongkat panjang. Di bagian kanan dan kiri dari sebuah bangunan pura kecil yang terletak di tengah area terlihat 2 meja besar penuh dengan sesajen dan persembahan yang dikelilingi dengan kain putih. Waktu saya tiba di bagian dalam pura, terlihat beberapa orang Tengger dengan pakaian upacara berwarna putih, dengan ikat kepalanya yang khas tampak sedang bercakap-cakap. Kemudian terlihat beberapa dari mereka bergerak meninggalkan area sesembahan. Sebelum meninggalkan lokasi, mereka melakukan ritual “salam” sebagai penghormatan bagi para leluhurnya.
Selesai melihat-lihat pura dan sisa-sisa Upacara Kasodo, saya bergerak meninggalkan area pura dan langsung menuju jeep. Setelah ini kami akan menuju Pasir Berbisik, lautan pasir luas yang terdapat di bagian timur Bromo.
Jeep putih yang kami tumpangi bergerak meninggalkan parkiran, mengikuti jejak beberapa jeep yang telah lebih dulu bergerak menuju Pasir Berbisik. Daerah Pasir Berbisik ini menjadi trend setelah ada film dengan judul yang sama, yang diperankan oleh Dian Sastro. Udah pada nonton? Emang film lama sih. Dan setelah itu, daerah ini menjadi semakin terkenal di kalangan para pelancong.
Tiba di sebuah area pasir yang sedikit tinggi, jeep yang dikemudikan mas Sukron berhenti. Kita sampai!!!
Saya turun dari jeep, menjejakkan kedua kaki pada dataran berpasir abu-abu tua dan berdebu. Di pagi menjelang siang itu, Pasir Berbisik cukup panas, namun angin yang bertiup masih saja dingin.
Di Pasir Berbisik ini saya sempat bertemu dengan seorang bapak yang menunggang kuda, dan menawarkan saya untuk berkeliling dengan kudanya. Tapi saya tidak bisa menerima tawaran bapak itu, karena saya akan segera bergerak lagi ke Bukit Teletubbies. Akhirnya saya meminta ijin bapak itu untuk mengambil beberapa foto beliau di atas kudanya 🙂
Dari Pasir Berbisik, jeep kembali bergerak ke arah Bukit Teletubbies. Kali ini jalanan berpasirnya sedikit lebih “tidak bagus” daripada sebelumnya. Jeep yang kami tumpangi bergerak terguncang-guncang mengikuti jalanan pasir yang bergelombang. Dan akhirnya kami tiba di hamparan perdu yang hampir semuanya kering kecoklatan. Musim kemarau yang sangat panjang ini mengambil warna hijau dari tanaman perdu di area perbukitan itu. Jeep berhenti di tengah hamparan perdu yang mengering. Area Bukit Teletubbies ini sangat luas. Perbukitan panjang dengan beberapa bukit kecil yang terpisah-pisah mengingatkan saya dengan film anak-anak Teletubbies, 4 makhluk lucu dengan warnanya yang menyolok mata.
Di Bukit Teletubies ini mas Sukron mengeluarkan kemahirannya memotret. Ternyata, selain jago mengendarai jeep, mas Sukron juga gape banget dengan kamera, dan bisa melihat angle bagus untuk dipotret. Jadilah saya, Windy dan Ciwi obyek foto siang itu. Sementara Iyus dan Devin memilih untuk bersembunyi di dalam jeep karena tidak mau terkena sinar matahari :p
Puas foto-foto di Bukit Teletubbies, jeep bergerak lagi. Kali ini mengarah ke jalur Tumpang, karena kami akan singgah ke Coban Pelangi. Namun belum seberapa jauh jeep berjalan, tiba-tiba harus terhenti di area tanjakan pasir. Ada apa???
Kami diam tanpa tahu ada apa di dalam jeep cukup lama. Yang terlihat di depan kami adalah jalan menanjak yang berpasir dan sekelompok rider motor yang terlihat agak kesusahan melewati medan berpasir itu. Satu persatu motor itu didorong melewati tanjakan berpasir yang berdebu. Mereka saling bantu untuk melewati tanjakan tersebut.
Setelah pasukan bermotor itu berhasil melewati tanjakan pasir, saya berpikir jeep kami akan segera lewat. Tapi ternyata di depan masih ada beberapa jeep yang berhenti, ada apa lagi? Kami baru mendapatkan jawabannya setelah mas Sukron kembali ke jeep (tadi sewaktu jeep berhenti, mas Bidin dan mas Sukron mendatangi gerombolan orang yang terlihat ramai di depan sana), ternyata sebelum jeep kami sampai di situ, telah terjadi kecelakaan yang mengakibatkan 1 buah jeep terbuka terguling ke jurang yang ada di sebelah kanan. Innalillahi… Dan kami dengar ada 1 orang korban yang belum jelas gimana keadaannya (cerita dari mas Bidin yang berhasil mencapai lokasi korban, sekitar 15 meter dari pinggir tebing lokasi jatuhnya jeep), informasi terakhir korban sudah dibawa ke rumah sakit. Semoga tidak terjadi apa-apa, dan segera sembuh seperti sedia kala. Aamiin.
Karena shock dengan peristiwa tadi, jeep yang biasanya penuh canda dan tawa, kali ini terasa sunyi. Semua diam. Mungkin kami masih kaget dengan betapa dekatnya maut pada manusia.
Perjalanan menuju Coban Pelangi memakan waktu sekitar 1 jam. Dan setelah jeep melewati perkampungan penduduk, perkebunan sawi dan bawang, akhirnya jeep berhenti di depan sebuah warung sederhana, di depan pintu masuk ke Coban Pelangi.
Untuk memasuki kawasan Coban Pelangi, kami hanya membayar 15 ribu per orangnya. Setelah membeli tiket, kami mulai menyusuri jalanan beton menuju lokasi coban/air terjun yang jaraknya sekitar 1 km. Untuk mencapai coban, jalanannya menurun, jadi ga terlalu terasa capeknya. Tapi saya membayangkan, gimana nanti pulangnya ya? Kan jalanannya menanjak….. hiiiiii…. #tutupmuka
Setelah berjalan sekitar 1 jam, menyeberangi sebuah jembatan bambu, tiba lah kami di lokasi Coban Pelangi. Sebuah air terjun dengan ketinggain sekitar 30-40 meter, yang berakhir pada sebuah kolam besar. Apabila beruntung, kita akan melihat semburat warna pelangi pada bias-bias cahaya yang bertemu dengan derai-derai halus air di udara.
Di Coban Pelangi saya hanya sebentar, hanya mengambil beberapa scene aja. Selain karena hari sudah mulai sore, ternyata cipratan air terjunnya juga lumayan banyak. Jadinya harus sering-sering membersihkan lensa kamera. Dan akhirnya saya cukup puas setelah menikmati percikan air itu membasahi wajah saya.
Saya, Windy dan mas Bidin akhirnya meninggalkan lokasi Coban Pelangi. Sebelumnya, Iyus, Ciwi dan Devin sudah duluan naik. Perjalanan menuju pintu keluar terasa lebih berat karena jalannya menanjak. Tapi bisa dong sampai parkiran dan langsung cuss mencari warung makan untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah kruyuk-kruyuk lapar.
Selesai makan siang (atau makan sore ya?) kami pun segera meluncur menuju Kota Malang. Tujuannya sudah pasti guesthouse. Pengen istirahat sebentar dan bersih-bersih. Ini rasanya pasir nempel di seluruh muka.
Tiba di guesthouse, saya segera mandi dan ganti baju. Dan siap-siap untuk dijemput mas Dani, kan kami masih mau keliling Malang lagi. Dan benar saja, jam 5 teng mas Dani sudah siap dengan si white cevy. Tujuan kami sore itu adalah Pia Mangkok, kan mau beli oleh-oleh. Tapi sesampainya kami di Toko Pia Mangkok, ternyata pia khas Malang yang terkenal itu sudah habis 🙁
Yah…. belum rejeki deh mau beli oleh-oleh Pia Mangkok
Akhirnya kami putar haluan menuju Bakso Presiden. Malam ini ceritanya kami akan ditraktir Iyus makan bakso. Asiiiiiikkkkk…..
Malam itu, entahlah, apakah kami yang memang kelaparan lagi, atau memang karena baksonya yang enak, ternyata ga ada satu pun dari kami yang sempat memotret apa yang kami makan 😀
Begitu pesanan sampai di meja, langsung habis masuk ke dalam perut 😀
Kuliner malam kami di Kota Malang ditutup dengan menikmati es krim di Toko Oen. Kali ini Ciwi yang punya hajat mau nraktir. Alhamdulillah ya…… jalan-jalan kali ini full dengan traktiran. Makasih Iyus…. makasih Ciwi…. #happytummy #pukpukperut
Selesai urusan kuliner, kami lagsung cuss menuju rumah Martha untuk membeli kripik untuk oleh-oleh. Hoooreeeee… Devin, Ciwi dan Windy belanja….. dusnya gede-gede bener…. Dan jalan-jalan kami pun harus berakhir. Tinggal pulang ke guesthouse, packing dan istirahat. Besok pagi siap-siap pulang ke Jakarta. Terima kasih Malang…. makasih mas Dani, Martha, mas Bidin, mas Sukron, @OurTrip1st, semuanya…..
Jalan-jalan kali ini menyenangkan…… 🙂